Oleh Toho Cholik Mutohir
Isu doping dalam olahraga akhir-akhir ini menjadi marak dan ramai dibicarakan dalam berbagai media, khususnya menjelang pesta terakbar Olimpiade Beijing 2008. China berupaya sekuat tenaga untuk meningkatkan citra negaranya guna menghindari skandal doping pada Olimpiade yang akan dimulai 8 Agustus ini.
Berita mengejutkan termutakhir adalah diskorsnya dua atlet China (perenang gaya punggung, Quyang Kunpeng, dan lifter, Luo Meng) dari kompetisi olahraga seumur hidup setelah mereka terbukti melakukan doping. Tidak tanggung-tanggung, pelatihnya pun dipecat.
China menghendaki ”Olimpiade Bersih” dan oleh karena itu, mereka bertekad untuk menegakkan olahraga bebas doping sehingga prestasi yang dicapai menjadi lebih murni dan dapat dibanggakan.
Bab I Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mengenai Ketentuan Umum menjelaskan, doping adalah penggunaan zat dan/atau metode terlarang untuk meningkatkan prestasi olahraga. Penggunaan zat-zat yang terlarang tersebut seperti yang terdapat dalam Daftar Terlarang (Prohibited List). Jenis zat-zat tersebut jumlahnya banyak dan kemungkinan terus berkembang jumlahnya, namun dapat dikategori menjadi: (1) anabolic agent, (2) hormon dan zat terkait, (3) Beta-2 agonist, (4) antagonis dan modulator hormon, (5) diuretik dan masking agent lainnya.
Yang dimaksud dengan penggunaan metode terlarang adalah dengan cara: (1) meningkatkan transfer oksigen, misalnya lewat doping darah atau metode apa pun untuk meningkatkan transfer oksigen ke jaringan tubuh, (2) manipulasi kimiawi dan fisik, misalnya merusak atau mengubah integritas dan validitas sampel yang dikumpulkan atau infus intravena, (3) doping gen dengan cara memanipulasi gen dalam bentuk apa pun untuk meningkatkan atau menurunkan faktor fisiologis, misalnya mengubah kontrol produksi hormonal dari zat-zat normal dalam tubuh dengan hormon pertumbuhan (erythropoietin).
Seorang olahragawan yang— hanya dengan bukti kondisi medis—terpaksa harus menggunakan zat terlarang atau metode terlarang melalui dokter medis- nya dapat mengajukan permohonan ”Pembebasan Penggunaan Terapeutik” kepada federasi internasional cabang olahraga dengan pemberitahuan ke Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) paling lambat 21 hari sebelum kompetisi.
Federasi internasional cabang olahraga bersangkutan dan LADI wajib segera melapor ke Badan Anti-Doping Dunia (WADA) tentang pemberitahuan ”Pengecualian Penggunaan Terapeutik” olahragawan yang bersangkutan. WADA, atas inisiatif sendiri, dapat melakukan peninjauan kapan saja atas ”Pengecualian Penggunaan Terapeutik” tersebut. WADA dapat membatalkan keputusan atas hasil peninjauan atau pemeriksaan terhadap kasus yang berkaitan dengan ”Pengecualian Penggunaan Terapeutik”.
Komitmen Indonesia
Indonesia ikut dalam penandatanganan Deklarasi Copenhagen pada 5 Maret 2003. Ini menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah berkomitmen kuat untuk ikut bersama-sama gerakan dunia internasional melawan doping dalam olahraga. Setahun setelah penandatangan Deklarasi Copenhagen, Pemerintah Indonesia—dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, yang pada waktu itu memiliki Direktorat Jenderal Olahraga, dengan Surat Keputusan Mendiknas Nomor 072/U2004—membentuk LADI yang bertugas mengoordinasikan upaya pencegahan, pengawasan, dan penegakan peraturan perundangan terkait dengan doping dalam olahraga.
Peraturan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Nomor: PER 1963/MENPORA/IX/2005 yang memperbarui surat keputusan sebelumnya memperkuat keberadaan LADI. Pemerintah Indonesia mendukung secara serius upaya perang melawan doping dengan dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Pasal 85, yaitu (1) Doping dilarang dalam semua kegiatan olahraga, (2) Setiap induk organisasi cabang olahraga dan/atau lembaga/organisasi olahraga nasional wajib membuat peraturan doping dan disertai sanksi, (3) Pengawasan doping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah.
Sebagai pengoperasian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 yang antara lain berisi memberikan dasar dan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan LADI untuk perang melawan doping dalam olahraga.
Guna menunjukkan konsistensi dan komitmen kuat Indonesia dalam perang melawan doping kepada dunia internasional, Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap konvensi internasional antidoping dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2007 tentang pengakuan terhadap Konvensi Internasional tentang Antidoping dalam Olahraga. Pemerintah Indonesia telah mendepositokan instrumen ratifikasi tersebut kepada UNESCO di Paris pada 30 Januari 2008.
Tak ada laboratorium
Salah satu kelemahan yang mendasar dalam pengawasan terhadap doping dalam olahraga di Indonesia hingga saat ini adalah belum dimilikinya laboratorium yang terakreditasi olah WADA. Padahal, untuk dapat memeriksakan hasil tes doping harus dilakukan di laboratorium yang terakreditasi. Sementara ini kita telah mengusulkan ke WADA agar laboratorium DKI Jakarta yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan bisa diakui.
Akibatnya, untuk melakukan pemeriksaan hasil tes doping bagi atlet-atlet dalam PON XVII 2008 di Kaltim, khususnya yang memecahkan rekor, pemeriksaan harus dilakukan di laboratorium di luar negeri, yaitu di Malaysia (Penang). Malaysia yang berpenduduk kecil telah memiliki laboratorium yang terakreditasi oleh WADA karena laboratorium tersebut antara lain mendapat jaminan dukungan dari pemerintahnya berupa bantuan dana untuk pemeriksaan doping 1.500 atlet setiap tahun, di samping dukungan tenaga kompeten di bidang laboratorium dan ilmu doping dari perguruan tinggi.
Isu doping dalam olahraga akhir-akhir ini menjadi marak dan ramai dibicarakan dalam berbagai media, khususnya menjelang pesta terakbar Olimpiade Beijing 2008. China berupaya sekuat tenaga untuk meningkatkan citra negaranya guna menghindari skandal doping pada Olimpiade yang akan dimulai 8 Agustus ini.
Berita mengejutkan termutakhir adalah diskorsnya dua atlet China (perenang gaya punggung, Quyang Kunpeng, dan lifter, Luo Meng) dari kompetisi olahraga seumur hidup setelah mereka terbukti melakukan doping. Tidak tanggung-tanggung, pelatihnya pun dipecat.
China menghendaki ”Olimpiade Bersih” dan oleh karena itu, mereka bertekad untuk menegakkan olahraga bebas doping sehingga prestasi yang dicapai menjadi lebih murni dan dapat dibanggakan.
Bab I Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mengenai Ketentuan Umum menjelaskan, doping adalah penggunaan zat dan/atau metode terlarang untuk meningkatkan prestasi olahraga. Penggunaan zat-zat yang terlarang tersebut seperti yang terdapat dalam Daftar Terlarang (Prohibited List). Jenis zat-zat tersebut jumlahnya banyak dan kemungkinan terus berkembang jumlahnya, namun dapat dikategori menjadi: (1) anabolic agent, (2) hormon dan zat terkait, (3) Beta-2 agonist, (4) antagonis dan modulator hormon, (5) diuretik dan masking agent lainnya.
Yang dimaksud dengan penggunaan metode terlarang adalah dengan cara: (1) meningkatkan transfer oksigen, misalnya lewat doping darah atau metode apa pun untuk meningkatkan transfer oksigen ke jaringan tubuh, (2) manipulasi kimiawi dan fisik, misalnya merusak atau mengubah integritas dan validitas sampel yang dikumpulkan atau infus intravena, (3) doping gen dengan cara memanipulasi gen dalam bentuk apa pun untuk meningkatkan atau menurunkan faktor fisiologis, misalnya mengubah kontrol produksi hormonal dari zat-zat normal dalam tubuh dengan hormon pertumbuhan (erythropoietin).
Seorang olahragawan yang— hanya dengan bukti kondisi medis—terpaksa harus menggunakan zat terlarang atau metode terlarang melalui dokter medis- nya dapat mengajukan permohonan ”Pembebasan Penggunaan Terapeutik” kepada federasi internasional cabang olahraga dengan pemberitahuan ke Lembaga Anti-Doping Indonesia (LADI) paling lambat 21 hari sebelum kompetisi.
Federasi internasional cabang olahraga bersangkutan dan LADI wajib segera melapor ke Badan Anti-Doping Dunia (WADA) tentang pemberitahuan ”Pengecualian Penggunaan Terapeutik” olahragawan yang bersangkutan. WADA, atas inisiatif sendiri, dapat melakukan peninjauan kapan saja atas ”Pengecualian Penggunaan Terapeutik” tersebut. WADA dapat membatalkan keputusan atas hasil peninjauan atau pemeriksaan terhadap kasus yang berkaitan dengan ”Pengecualian Penggunaan Terapeutik”.
Komitmen Indonesia
Indonesia ikut dalam penandatanganan Deklarasi Copenhagen pada 5 Maret 2003. Ini menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah berkomitmen kuat untuk ikut bersama-sama gerakan dunia internasional melawan doping dalam olahraga. Setahun setelah penandatangan Deklarasi Copenhagen, Pemerintah Indonesia—dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, yang pada waktu itu memiliki Direktorat Jenderal Olahraga, dengan Surat Keputusan Mendiknas Nomor 072/U2004—membentuk LADI yang bertugas mengoordinasikan upaya pencegahan, pengawasan, dan penegakan peraturan perundangan terkait dengan doping dalam olahraga.
Peraturan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Nomor: PER 1963/MENPORA/IX/2005 yang memperbarui surat keputusan sebelumnya memperkuat keberadaan LADI. Pemerintah Indonesia mendukung secara serius upaya perang melawan doping dengan dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Pasal 85, yaitu (1) Doping dilarang dalam semua kegiatan olahraga, (2) Setiap induk organisasi cabang olahraga dan/atau lembaga/organisasi olahraga nasional wajib membuat peraturan doping dan disertai sanksi, (3) Pengawasan doping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah.
Sebagai pengoperasian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 yang antara lain berisi memberikan dasar dan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan LADI untuk perang melawan doping dalam olahraga.
Guna menunjukkan konsistensi dan komitmen kuat Indonesia dalam perang melawan doping kepada dunia internasional, Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap konvensi internasional antidoping dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2007 tentang pengakuan terhadap Konvensi Internasional tentang Antidoping dalam Olahraga. Pemerintah Indonesia telah mendepositokan instrumen ratifikasi tersebut kepada UNESCO di Paris pada 30 Januari 2008.
Tak ada laboratorium
Salah satu kelemahan yang mendasar dalam pengawasan terhadap doping dalam olahraga di Indonesia hingga saat ini adalah belum dimilikinya laboratorium yang terakreditasi olah WADA. Padahal, untuk dapat memeriksakan hasil tes doping harus dilakukan di laboratorium yang terakreditasi. Sementara ini kita telah mengusulkan ke WADA agar laboratorium DKI Jakarta yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan bisa diakui.
Akibatnya, untuk melakukan pemeriksaan hasil tes doping bagi atlet-atlet dalam PON XVII 2008 di Kaltim, khususnya yang memecahkan rekor, pemeriksaan harus dilakukan di laboratorium di luar negeri, yaitu di Malaysia (Penang). Malaysia yang berpenduduk kecil telah memiliki laboratorium yang terakreditasi oleh WADA karena laboratorium tersebut antara lain mendapat jaminan dukungan dari pemerintahnya berupa bantuan dana untuk pemeriksaan doping 1.500 atlet setiap tahun, di samping dukungan tenaga kompeten di bidang laboratorium dan ilmu doping dari perguruan tinggi.
No comments:
Post a Comment