MENGIKIS
FEODALISME PENDIDIKAN
Pendidikan sebagai tonggak
utama pembentukan manusia yang berbudi tampaknya perlu mendapat perhatian yang
lebih serius. Bagaimana manusianya bisa maju kalau sistem pendidikannya
berantakan ? Apakah cukup dengan memberikan dana dua puluh persen dari APBN ?
Karena pendidikan ( sekolah )
yang berlangsung selama ini tidak lebih dari sekedar rutinitas yang jauh dari
tujuan utamanya yaitu belajar dan mengajar. Bahkan, sekolah menjadi suatu ajang
pencarian keuntungan bagi beberapa pihak. Lebih dari itu, akhir-akhir ini
sekolah tidak lebih dari manifestasi hukum perdagangan liberal, yang mampu
bayar silahkan masuk sekolah, yang tidak mampu silahkan tidur di rumah. Lalu
dimana fungsi sekolah sebagai lembaga pencerdasan anak bangsa ? Sejauh mana
perhatian pihak terkait terhadap nasib kecerdasan manusia Indonesia ?
Sekolah yang oleh pemerintah
ditetapkan sebagai ujung tombak pendidikan semakin jauh melenceng dari
tujuannya. Kekurangpedulian pemerintah dan masyarakat telah menyebabkan sistem
yang berjalan, baik intrasekolah maupun antarsekolah mengalami disorientasi.
Sekolah yang seharusnya mencerdaskan, mengajarkan cara berpikir, justru malah mengekang
kreatifitas. Sekolah yang seharusnya saling bekerja sama mencerdaskan anak
bangsa justru saling memperebutkan siswa sekaligus iuran serta dana BOSnya.
Atas nama prestasi dan kecerdasan, orang tua dipaksa mengeluarkan biaya yang hampir
tidak masuk akal di tengah himpitan ekonomi yang makin kuat. Siswa dan orang
tua mau tidak mau menuruti segala pemerasan yang dijalankan dengan dalil pendidikan
tersebut. Dengan kata lain, siswa sebagai pembelajar (
sekaligus orang tua ) telah diletakkan sebagai obyek pendidikan. Obyek yang
bisa dipermainkan, diprogram seperti robot, atau malah diperas seperti sapi.
Dan karena tak ada usaha-usaha untuk mereduksi bentuk penyelewengan tersebut,
akhirnya sistem itu menghard core ( meminjam istilah Rheinald Kasali
), dianggap wajar. Bila di suatu iklan berbunyi, “ Kalau ingin pintar, ya belajar.”,
maka di masyarakat pendidikan kita yang berlaku adalah, “ Kalau ingin pintar, ya bayar.”
Intervensi Pemerintah
Padahal sampai saat ini
keterlibatan pemerintah dalam dunia pendidikan sangat kuat. Namun mengapa
keadaan dunia pendidikan makin kocar-kacir ? Boleh jadi karena pemerintah ( Depdiknas
? ) kurang pas melibatkan diri. Alangkah baiknya bila pihak luar sekolah
menjaga intervensinya agar tidak terlalu berlebihan serta terfokus pada masalah
tekhnis pendidikan. Bahkan intervensi yang terlalu kuat dapat menimbulkan pembelengguan
kepada pihak sekolah, khususnya di tingkat SD. Akibatnya pihak sekolah
kehilangan kreativitasnya karena budaya minta petunjuk, juklak dan juknis,
serta aneka birokrasi lain terlampau mengakar dalam diri para guru serta
masyarakat sekolah ( khususnya SD ). Tidak jarang, sebuah sekolah, atau seorang
guru, gagal melakukan program yang disusunnya karena bertentangan dengan berbagai
peraturan di atasnya. Bahkan untuk menentukan buku apa yang hendak digunakan, mebelanjakan
dana BOS, tidak jarang pihak sekolah harus menunggu ketetapan seorang kepala
dinas. Alangkah ironis bila kebijakan sekolah ditentukan oleh pihak-pihak di luar sekolah, meskipun itu adalah lembaga yang
mengaturnya .
Yang lebih memalukan adalah
intervensi berlebihan terhadap pengaturan keuangan sekolah. Memang kita semua
sadar, keuangan sekolah adalah hal mutlak bagi berjalannya roda pendidikan yang
perlu diawasi penggunaannya. Tetapi dengan keterbatasan dana, pihak sekolah
pasti jauh lebih tahu tingkat prioritas kebutuhan mana yang mesti didahulukan.
Dengan keterbatasan dana itu seharusnya alangkah memalukannya apabila
pihak-pihak luar sekolah misalnya Penilik Sekolah dan Kepala Dinas ( yang sudah
digaji pemerintah ) mau menerima amplop terima kasih dari pihak sekolah atas
nama kegiatan apapun.. Dan sayangnya, hal tersebut telah menghard core, membudaya,
dan justru dianggap lumrah. Apabila ada pemeriksaan rutin, maka dengan otomatis
amplop uang bensin untuk sang penilik akan selalu mengiringi hasil pemeriksaan.
Lalu buat apa gaji para penilik tiap
bulannya ? Dan bagaimana pemeriksaan
serta pengevaluasian dapat berjalan obyektif dan menjadi suatu perbaikan
apabila uang telah berbicara ?
Yang paling rentan adalah
dana-dana pembangunan, block grant, DAK ( dana Alokasi Khusus ) maupun dana
rehabilitasi sekolah yang lain. Sudah rahasia umum apabila dana tersebut akan
mengalami kebocoran-kebocoran maupun sunatan-sunatan dengan berbagai alasan.
Sebuah dilematis dihadapi sekolah. Di satu sisi mereka membutuhkan dana untuk
peningkatan kualitas sekolah, di sisi lain mereka akan kesulitan menutup
kebocoran-kebocoran tersebut serta pembuatan SPJnya, kecuali bila mereka adalah
manusia-manusia yang pandai untuk tidak jujur.
Independensi Sekolah
Mungkin sedikit yang
mengimpikan adanya Independensi sekolah. Sebuah kemerdekaan bagi sekolah untuk
mengatur jalan hidupnya sendiri. Untuk menentukan kurikulum yang dianutnya,
untuk memilih mapel yang diajarkannya, atau justru untuk mengikuti program
pemerintah atau tidak. Sekolah yang menjadikan siswa-siswinya sebagai yang
dihormati, yang harus mendapat segala curahan perhatian, tentu saja dengan cara
yang benar. Agar mereka menjadi manusia seutuhnya, manusia yang merdeka yang
berani menentukan sikap. Bukan untuk dijadikan robot agar dapat diperintah,
disuruh melakukan ini itu, atau dijadikan sumber daya yang dapat dieksploitasi
untuk kepentingan ekonomi. Hal ini tidak lain karena mayoritas guru masih bermental
feodal yang tinggal menunggu segala sesuatunya dari atas. Sedikit sekali para
guru yang merdeka, yang berani bertindak kreatif.
Sebuah impian yang bukan tidak
mungkin dapat diwujudkan mengingat banyak pihak telah mulai merintisnya.
Lahirnya sistem homeschooling ataupun pendidikan-pendidikan luar sekolah
menunjukkan bahwa masih ada yang berjuang untuk memerdekakan anak-anak bangsa
dalam dunia pendidikan Indonesia. Untuk memberikan kesempatan belajar yang
sebenar-benarnya, belajar untuk pintar. Bukan belajar untuk nilai diatas
kertas. Tinggal kita, akankah mendukung anak –anak kita menjadi manusia merdeka
atau justru takut kalau anak-anak kita tidak dapat menjadi pegawai ( negeri
sipil ) karena tidak mempunyai ijazah formal.
Oleh : Chabib Noor Za, S.Pd
:
Praktisi Pendidikan, Tinggal di Jepara
No comments:
Post a Comment