Blogger Widgets TAMAMI JAYA: PERNIKAHAN BEDA AGAMA, UNTUNG APA RUGI ?
SELAMAT DATANG Di Web tamamijaya.blogspot.com Jalan DR.Wahidin 76 Dema'an Jepara

Friday, 4 October 2013

PERNIKAHAN BEDA AGAMA, UNTUNG APA RUGI ?


Jamal dan Lidya saat mengajukan ijin menikah


Menjalani rumah tangga dengan keyakinan berbeda memang bukan hal mudah. Meski banyak yang sukses sampai akhir hayat, tidak sedikit yang kandas di tengah jalan. Kondisi itu banyak dialami selebriti Tanah Air.

Beberapa selebriti Indonesia telah menjalani pernikahan beda keyakinan, sebut saja Glenn Fredly dengan Dewi Sandra, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Mike Lewis dan Tamara Bleszynsky, Deddy Corbuzier dan Kalina, Cornelia Agatha dan Sony Lawlani, serta Lydia Kandou dan Jamal Mirdad.

Setelah tiga tahun menikah, Glenn dan Dewi akhirnya bercerai. Banyak yang menduga perceraian mereka disebabkan perbedaan agama. Namun, ada juga yang menganggap karena Glenn memiliki wanita idaman lain.

Dua tahun menikah, Mike dan Tamara bercerai karena banyaknya perbedaan. Memang tidak disebutkan secara pasti apa alasan yang sebenarnya. Namun perbedaan keyakinan ini dianggap sebagai salah satu penyebabnya.

17 tahun menikah, tidak berarti sebuah rumah tangga berjalan baik. Tidak pernah diterpa gosip miring juga belum tentu membuat hubungan langgeng. Buktinya, Katon dan Ira bercerai setelah sekian lama menjalin kasih. Sampai saat ini alasan jelas perceraian mereka tidak diketahui, namun seperti diketahui banyak orang, mereka berbeda agama.

Pasangan yang baru saja terungkap perceraiannya adalah Dedi dan Kalina. Keduanya sepakat mengakhiri rumah tangga karena sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan.

Cornelia Agatha menggugat cerai Sony Lalwani pada 29 Oktober 2012. Kabarnya, Lia menggugat cerai karena kehadiran wanita idaman lain dalam rumah tangga mereka.

Hal mengejutkan yang baru terjadi adalah, kabar gugatan cerai yang dilayangkan Lydia Kandou terhadap sang suami, Jamal Mirdad. Kedua pasangan ini sempat menjadi panutan karena sukses membina rumah tangga selama 27 tahun, meski terdapat perbedaan agama. Namun, keharmonisan mereka berakhir hanya sampai di sini. Pasalnya, pada 8 April 2013, Lydia memasukkan gugatannya.
Pengaturan mengenai syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUP adalah :
1.      Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
2.      Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.

Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18). Lebih lanjut mengenai permasalahan apa saja yang mungkin timbul dalam perkawinan beda agama bakal munculin permasalahan apa ya?
permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:

  1. Keabsahan perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

  1. Pencatatan perkawinan. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].

  1. Status anak. Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].

  1. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif

Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1.      Meminta penetapan pengadilan,
2.      Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3.      Penundukan sementara pada salah satu hukum agama,
4.      Menikah di luar negeri.

Maka hati-hati sebelum bertindak, pikir dahulu sebelum anda mengenal atau mengajak pasangan kekasih yang beda agama sebelum muncul permasalahan di kemudian hari. Awalnya cinta tidak mengenal derajat, kedudukan atau latar belakang, tetapi permasalahan tetap akan muncul di kemudian hari karena putra-putri anda adalah bukti kelanjutan generasi selanjutnya.

Diambil dari Berbagai sumber

No comments: