Fandi (demikian juga panggilannya)
adalah mantan pemain kesebelasan Niac Mitra Surabaya (klub Galatama), mantan
pemain andalan kesebelasan Singapura, yang pernah juga melatih kesebelasan
Pelita Jaya (peserta ISL) berkesempatan melakukan wawancara dengan reporter
majalah di Indonesia.
Yang dengar mungkin penasaran juga, kok
Fandi lebih memilih Niac Mitra daripada Ajax, kesebelasan yang pernah jadi
juara dunia antar klub. Fandi yang konon telah 3 minggu diuji coba oleh Ajax (telah
diincar untuk ‘dibeli’ oleh kesebelasan Belanda itu), dinyatakan lulus plus
pujian oleh bintang bola dunia yang asal Belanda juga, Johan Cruyff. Yang
begini ini baru cerita pertama bagi pemain sepakbola negara-negara Asia.
Sebagai kelanjutannya bukan Fandi yang
‘boyongan’ ke negeri Belanda, eh ………. tahu-tahu malah muncul di stadion Gelora
10 Nopember Surabaya, mengenakan kostum hijau-hijau di bawah bendera Niac Mitra
Surabaya. Rupanya dari jauh-jauh hari, si bintang ini telah diincar oleh Pak
A.Wenas manager Niac Mitra.
Diakui oleh Fandi, ketika di negeri
Belanda soal bahasa sempat juga membuatnya repot, belum lagi makanan sono yang
tak cocok dengan lidahnya yang sudah terbiasa dengan sambal goreng dan
terasi……. ditambah lagi waktu itu bersamaan dengan bulan Ramadhan. Di negeri
kincir angin Fandi merasa sepi dalam menjalankan ibadah puasanya, dan dikatakan
dengan tegas,”Famili saya suka saya main di Indonesia”
“Penyerang tengah Fandi Ahmad” itu
pengeras suara yang bicara ketika mengumumkan nama-nama pemain Niac Mitra dalam
pertandingannya melawan UMS’80 di Stadion Menteng. Selanjutnya terdengar
riuhnya tepuk penonton menyambut pengumuman itu, tambah lagi ketika ‘orangnya’
muncul di lapangan. “Fandi…… Fandi….” Teriak mereka yang di pinggir lapangan
(jadi ingat Ali…..Ali…..pada jaman top-nya Muhammad Ali)
Dalam lingkaran putih pusat permainan,
berdiri 3 pemain depan Niac Mitra. Yang paling kanan jangkung sekali dia Rudy
Kelces, Joko Malis yang tergolong pendek, dan yang sedang di tengah adalah
Fandi Ahmad.
Kemanapun si nomor punggung 17 (nomor
punggung Fandi Ahmad) melangkah selalu saja dibayangi lawan, bahkan tak jarang
sengaja kakinya jadi sasaran tackling lawan. Terlihat bahwa peranan Fandi dalam
permainan adalah sebagai penggerak. Setiap bola yang ditendangnya arahnya kok
selalu pas, yang ke kaki Rudy-lah atau ke sundulan Joko-lah. Dan dengan kaki
kiri di menit ke-8 bergetarlah jala penjaga gawang UMS’80. Dengan satu loncatan
Fandi mengangkat tangannya tinggi dan dia kemudian ganti diangkat
teman-temannya. Di pinggir lapangan tampak Pak Wenas dan Pak M.Basri (pelatih
Niac Mitra) mengacungkan jempol untuknya. Dan penonton pun memberikan tepuk
berkepanjangan. Meski Niac Mitra tak menang sore itu, penampilan Fandi menjadi
tontonan tersendiri.
Termasuk standar juga posturnya
dengan pemain-pemain Indonesia lainnya
(dia mengatakan 173 cm) tidak beda jauh dengan pemain naturalisasi Indonesia
seperti Cristian “El Loco” Gonzales ataupun Irfan Haryys Bachdim di tahun 2013
ini.
“Umur tujuh tahun saya mulai main bola”
katanya sepotong, sambil senyum dan diikuti gerakan tangannya mengusap-usap
rambutnya rambutnya yang mungkin agak gatal. “Di depan rumah nenek saya ada
sekolah, di yard situ saya suka main sukan.” (maksudnya olahraga). Ketika
reporter tanyakan darimana munculnya ‘kesaktian’ main si kulit bundar Fandi
menjawab ”Ayah saya dan om adalah semua pemain bole, jadi semua keluarga saye
suke bole,” jawab sosok berkulit tak langsat ini.
Dari awal ceritanya Fandi sudah
menyebut-nyebut kakek dan neneknya. O. . . . rupanya dari kecil dia menjadi
anak tunggal nenek dan kakeknya. Fandi merupakan anak laki-laki pertama dalam
keluarganya yang semua 5 orang, namun sejak kecil dia sudah pisah dari mereka
dan kemudian tinggal jadi satu dengan nenek yang haji itu, Hajjah Mymoon Amal.
Kalau ditelusuri sebenarnya ada darah
Jawa yang ‘nyiprat’ ke Fandi, ayahnya Ahmad Wartam meski lahir dan dibesarkan
di Singapura adalah keturunan orang Pacitan, yaitu kakeknya. Inilah orang-orang
yang dimaksud ‘familinya’ yang lebih senang kalau Fandi main di Indonesia.
Baru saja habis waktu 2 tahunnya pada
SAFSA (Singapora Army Forces Sports Association) yaitu semacam wajib militer
bagi yang telah berusia 18 tahun di negaranya. Dia pindah dari Kaki Bukit (nama
klubnya di sana) untuk memulai karier sebagai pemain professional. Bapak Wenas
untuk memperoleh Fandi mesti pakai duit berjut-jut! Dan Niac Mitra dirasa Fandi
cocok bagi tahap kariernya saat itu. “Right now” ucapnya ketika ditanya apakah
sepakbola dunianya yang utama.
Mungkin saja debut Fandi di Niac Mitra
itu sebagai awal jejaknya mengikuti bintang idolanya seperti Diego Armando
Maradona. Fandi sudah melewati tahap seorang juara, selain bakat, kemampuan
kontrol bolanya juga baik.
Dia katakan selain sepakbola dia juga
menyukai rock, slow rock, jazz sampai ke dangdut. Untuk penyanyi Indonesia dia
tahu Diana Nasution dan Elvi Sukaesih. Tentang Surabaya dia kerasan, meski
seringkali fisik Fandi protes dengan kondisi setempat, yang kena flu-lah atau
pilek. Tapi yang sering adalah bengkak kaki karena dia sering mendapat tebasan
dari lawan-lawan bermainnya. Untuk bermain di Indonesia memang dibutuhkan
keberanian dan nyali yang cukup untuk duel dengan pemain yang lain, dan sampai
saat inipun ciri permainan pemain di klub ISL juga masih mengandalkan
keberanian dan nyali yang cukup. Dan itu sangat menarik perhatian dari Fandi
Ahmad dengan kembali ke Indonesia tetapi dalam kapasitas sebagai pelatih, meski
menurut raport sebagai pelatih dianggap ‘gagal’ karena dalam membawa klub
Pelita Jaya tidak berhasil membawa klub ini ke posisi terhormat bahkan kalau
tidak bisa dikatakan hampir saja di detik-detik terakhir pada kompetisi ISL
2009/2010 sampai pertandingan ke 34 masih terjadi pergeseran peringkat antara
Pelita Jaya, Persitara, Persik dan Persebaya.
Jadi dalam hal ini seorang juara dalam
kapasitas sebagai pemain belum tentu berhasil dalam kapasitasnya sebagai
pelatih. Termasuk teman-teman seangkatan di Niac Mitra yang sampai sekarang
masih aktif melatih di kompetisi Liga Indonesia.
No comments:
Post a Comment