Pesta Baratan adalah adalah satu tradisi masyarakat Jepara yang erat
kaitannya dengan Ratu Kalinyamat. Kata “baratan” berasal dari
sebuah kata Bahasa Arab, yaitu “baraah” yang berarti keselamatan atau “barakah”
yang berarti keberkahan. Tradisi Pesta Baratan dilaksanakan setiap tanggal 15
Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah (kalender Jawa) yang bertepatan
dengan malam nishfu syakban. Kegiatan dipusatkan di Masjid Al Makmur Desa
Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Ritualnya sederhana, yaitu setelah shalat maghrib,
umat islam desa setempat tidak langsung pulang. Mereka tetap berada di masjid /
musholla untuk berdo’a bersama. Surat Yasin dibaca tiga kali secara
bersama-sama dilanjutkan shalat isya berjamaah. Kemudian memanjatkan doa nishfu
syakban dipimpin ulama / kiai setempat, setelah itu makan (bancaan) nasi puli
dan melepas arak-arakan. Kata puli berasal dari Bahasa Arab : afwu lii,
yang berarti maafkanlah aku. Puli terbuat dari bahan beras dan ketan yang
ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa dibakar.
Ada 2 versi cerita yang mendasari
tradisi baratan yaitu:
- Cerita Versi Pertama
Sultan Hadirin (Sayyid Abdurrahman
Ar Rumi) berperang melawan Aryo Penangsang dan terluka. Kemudian Sang isteri
Nyai Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) membawanya pulang ke Jepara dengan dikawal
prajurit dan dayang-dayang. Banyak desa di sepanjang jalan yang dilewati
rombongan diberi nama peristiwa menjelang wafatnta Sultan Hadirin. Salah satu
contohnya adalah saat rombongan melewati suatu desa, mendadak tercium bau harum
semerbak (gondo) dari jasad Sultan, maka desa tersebut sekarang kita kenal
dengan nama Purwogondo.
- Cerita Versi Kedua
Setelah berperang melawan Aryo
Penangsang, Sultan Hadirin tewas dan jenazahnya dibawa pilang oleh isterinya
(Ratu Kalinyamat) pulang ke Jepara. Peristiwa itu berlangsung malam hari,
sehingga masyarakat disepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut
rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerangan berupa obor.
Pada Barisan arak-arakan Pesta
Baratan pertama adalah sebagai Sapu Jagad, baris kedua sebagai Pengawal Ratu
Kalinyamat, baris ketiga sebagai Ratu Kalinyamat, baris keempat sebagai Santri
pengikut Sultan Hadliri yang bersyalawat, baris kelima sebagai Pengiring
pembawa lampion.
Event ini pernah dikemas menjadi
salah satu peristiwa yang tercatat dalam buku MURI (Museum Rekor Indonesia)
yaitu pawai membawa lampion dengan peserta terbanyak yang terjadi di daerah
Kalinyamatan beberapa waktu yang lalu. Memang lampion yang terbuat dari kertas
berwarna warni dengan lilin dan lampu batere menjadi ciri khas dari keramaian
dari Baratan ini . Oleh karena itu jika musim baratan tiba diseputaran
Kalinyamatan yang berpusat di sekitar pertigaan Purwogondo banyak pedagang
lampion tahunan yang menjajakan dagangannya di sepanjang jalan dan membuat
keramaian tersendiri pada daerah ini. Selain lampion seiring dengan
perkembangan jaman , bentuk bentuk unik lainnya seperti mobil-mobilan,
ayam-ayaman dan banyak lagi bentuk lainnya juga meramaikan even baratan ini.
Setelah makan nasi puli, masyarakat
di desa Kriyan dan beberapa desa di sekitarnya (Margoyoso, Purwogondo, dan
Robayan) turun dari masjid / mushalla untuk melakukan arak-arakan. Ada aksi
theatrikal yang dilaksanakan seniman setempat, selebihnya diikuti oleh seluruh
lapisan masyarakat dewasa maupun anak-anak. Ribuan orang dengan membawa lampion
bergerak dari halaman masjid Al Makmur Desa Kriyan dengan mengarak simbol Ratu
Kalinyamat dan Sultan Hadirin menuju pusat Kecamatan. Mereka meneriakkan
yel-yel ritmis : tong tong ji’ tong jeder, pak kaji nabuh jeder, dan
sebagian lainnya melantunkan shalawat Nabi. Dari sisi agama, tradisi ini
dianggap sebagai ritual penyucian diri bagi umat islam, apalagi pelaksanaannya
menjelang puasa bulan Romadlon. Selain itu, tradisi ini menggambarkan semangat
dan optimisme dalam menjalani hidup, disamping keteguhan dalam menghadapi
berbagai cobaan. Semua itu terangkum dalam do’a nishfu syakban yang
dipanjatkan.
Tradisi baratan yang terkikis waktu
Ada hal yang menarik yang dapat kita
temui sebelum bulan puasa di Jepara, Jawa Tengah. Sekelompok besar masyarakat
yang memadati jalanan serta anak-anak yang dengan riang membawa sebuah lampion
di tangannya. Dilaksanakan tepat 15 hari sebelum puasa, bertempat di Desa
Kriyan, Jepara, Jawa Tengah, tradisi ini sering disebut "bodo
bratan".
Tradisi ini sendiri diadakan untuk memperingati meninggalnya suami dari bupati wanita pertama di Jepara, Sultan Hadlirin yang tewas ketika menuntut kematian Sultan Prawata Dalam perjalanan pulang. Ia dibunuh oleh soreng- soreng, utusan Aryo Penangsang. Dari kematiannya inilah, yang manjadikan awal mula penamaan desa – desa penting di Jepara yang diperingati juga di Tradisi Baratan. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk menyucikan diri menyambut bulan suci Ramadan.
Barawal dari masyarakat desa yang menyalakan obor untuk memberi penerangan pada jasad Sultan Hadlirin. Setiap tahunya tradisi ini diperingati juga dengan menyalakan lilin di dalam impes, atau lebih dikenal oleh masyarakat "lampion". Seiring berjalannya waktu tradisi ini semakin redup. Ketidakpedulian pemerintah Jepara menjadi salah satu pemicunya.
Tradisi ini sendiri mulai dibangun oleh karang taruna setempat. Mereka mulai mengemasnya dengan lebih modern. Penggunaan impes yang merupakan awal mula tradisi berlangsung mulai berubah menjadi penggunaan lampion yang sudah dimodifikasi. Melihat tradisi baratan mengingatkan kita juga akan festival lampion di Cina. Modernisasi ini akhirnya berbuah manis, pada 2004 tradisi ini memperoleh penghargaan dari MURI berupa "arak-arakan lampion terpanjang". Itu merupakan MURI pertama yang diraih oleh Jepara.
Tidak hanya lampion, tradisi ini juga mempunyai kuliner khas yang wajib ketika tradisi ini dilaksanakan. Adalah puli dan bongko ceblok yang mempunyai nilai-nilai filosofis tinggi. Hal menarik lainnya terdapat teatrikal berupa sosok "Ratu Kalinyamat" yang dipilih untuk memimpin arak-arakan ini.
Tradisi ini juga meningkatkan penghasilan masyarakat Desa Kriyan secara signifikan. Karena beberapa minggu sebelum pelaksanaannya, masyarakat akan menjajakan impes/ lampion mengingat penontonnya bukan hanya dari Jepara saja. Selain aspek ekonomi, tradisi ini juga meningkatkan aspek sosial budaya. Seluruh masyarakat dari Jepara maupun dari luar Jepara melebur menjadi satu menonton pagelaran ini.
Ketidakpedulian masyarakat akan tradisi ini cukup ironi. Mengingat tradisi ini dapat menciptakan keuntungan untuk sektor daerah yang tidak sedikit. Kegelisahan masyarakat diakui sering terjadi kala karang taruna tidak mempunyai dana dan memilih meniadakan pelaksanaan tradisi baratan tahun itu. Namun hal itu tidak mengubah perilaku masyarakat yang tidak ikut serta secara penuh demi terwujudnya kearifan budaya lokal tersebut.
Pemerintah Daerah sendiri diakui kurang memperhatikan jalannya tradisi ini. Pemerintah lebih mempedulikan tradisi "kirab" yang diperingati tiap HUT Jepara. Sedangkan tradisi yang lebih mengakar, dan lebih lama di Jepara justru cenderung diabaikan. Memang diperlukan kepedulian penuh oleh pemerintah daerah, khususnya masyarakat agar tradisi ini tetap dapat dipertahankan.
Sumber :
http://m.liputan6.com/news/read/778351/tradisi-baratan-yang-terkikis-oleh-waktu#sthash.9pD2hvKS.dpuf
Tradisi ini sendiri diadakan untuk memperingati meninggalnya suami dari bupati wanita pertama di Jepara, Sultan Hadlirin yang tewas ketika menuntut kematian Sultan Prawata Dalam perjalanan pulang. Ia dibunuh oleh soreng- soreng, utusan Aryo Penangsang. Dari kematiannya inilah, yang manjadikan awal mula penamaan desa – desa penting di Jepara yang diperingati juga di Tradisi Baratan. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk menyucikan diri menyambut bulan suci Ramadan.
Barawal dari masyarakat desa yang menyalakan obor untuk memberi penerangan pada jasad Sultan Hadlirin. Setiap tahunya tradisi ini diperingati juga dengan menyalakan lilin di dalam impes, atau lebih dikenal oleh masyarakat "lampion". Seiring berjalannya waktu tradisi ini semakin redup. Ketidakpedulian pemerintah Jepara menjadi salah satu pemicunya.
Tradisi ini sendiri mulai dibangun oleh karang taruna setempat. Mereka mulai mengemasnya dengan lebih modern. Penggunaan impes yang merupakan awal mula tradisi berlangsung mulai berubah menjadi penggunaan lampion yang sudah dimodifikasi. Melihat tradisi baratan mengingatkan kita juga akan festival lampion di Cina. Modernisasi ini akhirnya berbuah manis, pada 2004 tradisi ini memperoleh penghargaan dari MURI berupa "arak-arakan lampion terpanjang". Itu merupakan MURI pertama yang diraih oleh Jepara.
Tidak hanya lampion, tradisi ini juga mempunyai kuliner khas yang wajib ketika tradisi ini dilaksanakan. Adalah puli dan bongko ceblok yang mempunyai nilai-nilai filosofis tinggi. Hal menarik lainnya terdapat teatrikal berupa sosok "Ratu Kalinyamat" yang dipilih untuk memimpin arak-arakan ini.
Tradisi ini juga meningkatkan penghasilan masyarakat Desa Kriyan secara signifikan. Karena beberapa minggu sebelum pelaksanaannya, masyarakat akan menjajakan impes/ lampion mengingat penontonnya bukan hanya dari Jepara saja. Selain aspek ekonomi, tradisi ini juga meningkatkan aspek sosial budaya. Seluruh masyarakat dari Jepara maupun dari luar Jepara melebur menjadi satu menonton pagelaran ini.
Ketidakpedulian masyarakat akan tradisi ini cukup ironi. Mengingat tradisi ini dapat menciptakan keuntungan untuk sektor daerah yang tidak sedikit. Kegelisahan masyarakat diakui sering terjadi kala karang taruna tidak mempunyai dana dan memilih meniadakan pelaksanaan tradisi baratan tahun itu. Namun hal itu tidak mengubah perilaku masyarakat yang tidak ikut serta secara penuh demi terwujudnya kearifan budaya lokal tersebut.
Pemerintah Daerah sendiri diakui kurang memperhatikan jalannya tradisi ini. Pemerintah lebih mempedulikan tradisi "kirab" yang diperingati tiap HUT Jepara. Sedangkan tradisi yang lebih mengakar, dan lebih lama di Jepara justru cenderung diabaikan. Memang diperlukan kepedulian penuh oleh pemerintah daerah, khususnya masyarakat agar tradisi ini tetap dapat dipertahankan.
Sumber :
http://m.liputan6.com/news/read/778351/tradisi-baratan-yang-terkikis-oleh-waktu#sthash.9pD2hvKS.dpuf
http:/Wikipedia.org
1 comment:
Assalamu 'alaikum warahmatullahiwabarakatuhu
Post a Comment