Blogger Widgets TAMAMI JAYA: BARATAN
SELAMAT DATANG Di Web tamamijaya.blogspot.com Jalan DR.Wahidin 76 Dema'an Jepara

Tuesday, 27 May 2014

BARATAN



Pesta Baratan adalah adalah satu tradisi masyarakat Jepara yang erat kaitannya dengan Ratu Kalinyamat. Kata “baratan” berasal dari sebuah kata Bahasa Arab, yaitu “baraah” yang berarti keselamatan atau “barakah” yang berarti keberkahan. Tradisi Pesta Baratan dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah (kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam nishfu syakban. Kegiatan dipusatkan di Masjid Al Makmur Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan. Ritualnya sederhana, yaitu setelah shalat maghrib, umat islam desa setempat tidak langsung pulang. Mereka tetap berada di masjid / musholla untuk berdo’a bersama. Surat Yasin dibaca tiga kali secara bersama-sama dilanjutkan shalat isya berjamaah. Kemudian memanjatkan doa nishfu syakban dipimpin ulama / kiai setempat, setelah itu makan (bancaan) nasi puli dan melepas arak-arakan. Kata puli berasal dari Bahasa Arab : afwu lii, yang berarti maafkanlah aku. Puli terbuat dari bahan beras dan ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa yang dibakar atau tanpa dibakar.

Ada 2 versi cerita yang mendasari tradisi baratan yaitu:
  • Cerita Versi Pertama
Sultan Hadirin (Sayyid Abdurrahman Ar Rumi) berperang melawan Aryo Penangsang dan terluka. Kemudian Sang isteri Nyai Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) membawanya pulang ke Jepara dengan dikawal prajurit dan dayang-dayang. Banyak desa di sepanjang jalan yang dilewati rombongan diberi nama peristiwa menjelang wafatnta Sultan Hadirin. Salah satu contohnya adalah saat rombongan melewati suatu desa, mendadak tercium bau harum semerbak (gondo) dari jasad Sultan, maka desa tersebut sekarang kita kenal dengan nama Purwogondo.
  • Cerita Versi Kedua
Setelah berperang melawan Aryo Penangsang, Sultan Hadirin tewas dan jenazahnya dibawa pilang oleh isterinya (Ratu Kalinyamat) pulang ke Jepara. Peristiwa itu berlangsung malam hari, sehingga masyarakat disepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerangan berupa obor.

Pada Barisan arak-arakan Pesta Baratan pertama adalah sebagai Sapu Jagad, baris kedua sebagai Pengawal Ratu Kalinyamat, baris ketiga sebagai Ratu Kalinyamat, baris keempat sebagai Santri pengikut Sultan Hadliri yang bersyalawat, baris kelima sebagai Pengiring pembawa lampion.


Event ini pernah dikemas menjadi salah satu peristiwa yang tercatat dalam buku MURI (Museum Rekor Indonesia) yaitu pawai membawa lampion dengan peserta terbanyak yang terjadi di daerah Kalinyamatan beberapa waktu yang lalu. Memang lampion yang terbuat dari kertas berwarna warni dengan lilin dan lampu batere menjadi ciri khas dari keramaian dari Baratan ini . Oleh karena itu jika musim baratan tiba diseputaran Kalinyamatan yang berpusat di sekitar pertigaan Purwogondo banyak pedagang lampion tahunan yang menjajakan dagangannya di sepanjang jalan dan membuat keramaian tersendiri pada daerah ini. Selain lampion seiring dengan perkembangan jaman , bentuk bentuk unik lainnya seperti mobil-mobilan, ayam-ayaman dan banyak lagi bentuk lainnya juga meramaikan even baratan ini.

Setelah makan nasi puli, masyarakat di desa Kriyan dan beberapa desa di sekitarnya (Margoyoso, Purwogondo, dan Robayan) turun dari masjid / mushalla untuk melakukan arak-arakan. Ada aksi theatrikal yang dilaksanakan seniman setempat, selebihnya diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dewasa maupun anak-anak. Ribuan orang dengan membawa lampion bergerak dari halaman masjid Al Makmur Desa Kriyan dengan mengarak simbol Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin menuju pusat Kecamatan. Mereka meneriakkan yel-yel ritmis : tong tong ji’ tong jeder, pak kaji nabuh jeder, dan sebagian lainnya melantunkan shalawat Nabi. Dari sisi agama, tradisi ini dianggap sebagai ritual penyucian diri bagi umat islam, apalagi pelaksanaannya menjelang puasa bulan Romadlon. Selain itu, tradisi ini menggambarkan semangat dan optimisme dalam menjalani hidup, disamping keteguhan dalam menghadapi berbagai cobaan. Semua itu terangkum dalam do’a nishfu syakban yang dipanjatkan.

Tradisi baratan yang terkikis waktu

Ada hal yang menarik yang dapat kita temui sebelum bulan puasa di Jepara, Jawa Tengah. Sekelompok besar masyarakat yang memadati jalanan serta anak-anak yang dengan riang membawa sebuah lampion di tangannya. Dilaksanakan tepat 15 hari sebelum puasa, bertempat di Desa Kriyan, Jepara, Jawa Tengah, tradisi ini sering disebut "bodo bratan".

Tradisi ini sendiri diadakan untuk memperingati meninggalnya suami dari bupati wanita pertama di Jepara, Sultan Hadlirin yang tewas ketika menuntut kematian Sultan Prawata Dalam perjalanan pulang. Ia dibunuh oleh soreng- soreng, utusan Aryo Penangsang. Dari kematiannya inilah, yang manjadikan awal mula penamaan desa – desa penting di Jepara yang diperingati juga di Tradisi Baratan. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk menyucikan diri menyambut bulan suci Ramadan.

Barawal dari masyarakat desa yang menyalakan obor untuk memberi penerangan pada jasad Sultan Hadlirin. Setiap tahunya tradisi ini diperingati juga dengan menyalakan lilin di dalam impes, atau lebih dikenal oleh masyarakat "lampion". Seiring berjalannya waktu tradisi ini semakin redup. Ketidakpedulian pemerintah Jepara menjadi salah satu pemicunya.

Tradisi ini sendiri mulai dibangun oleh karang taruna setempat. Mereka mulai mengemasnya dengan lebih modern. Penggunaan impes yang merupakan awal mula tradisi berlangsung mulai berubah menjadi penggunaan lampion yang sudah dimodifikasi. Melihat tradisi baratan mengingatkan kita juga akan festival lampion di Cina. Modernisasi ini akhirnya berbuah manis, pada 2004 tradisi ini memperoleh penghargaan dari MURI berupa "arak-arakan lampion terpanjang". Itu merupakan MURI pertama yang diraih oleh Jepara.

Tidak hanya lampion, tradisi ini juga mempunyai kuliner khas yang wajib ketika tradisi ini dilaksanakan. Adalah puli dan bongko ceblok yang mempunyai nilai-nilai filosofis tinggi. Hal menarik lainnya terdapat teatrikal berupa sosok "Ratu Kalinyamat" yang dipilih untuk memimpin arak-arakan ini.

Tradisi ini juga meningkatkan penghasilan masyarakat Desa Kriyan secara signifikan. Karena beberapa minggu sebelum pelaksanaannya, masyarakat akan menjajakan impes/ lampion mengingat penontonnya bukan hanya dari Jepara saja. Selain aspek ekonomi, tradisi ini juga meningkatkan aspek sosial budaya. Seluruh masyarakat dari Jepara maupun dari luar Jepara melebur menjadi satu menonton pagelaran ini.

Ketidakpedulian masyarakat akan tradisi ini cukup ironi. Mengingat tradisi ini dapat menciptakan keuntungan untuk sektor daerah yang tidak sedikit. Kegelisahan masyarakat diakui sering terjadi kala karang taruna tidak mempunyai dana dan memilih meniadakan pelaksanaan tradisi baratan tahun itu. Namun hal itu tidak mengubah perilaku masyarakat yang tidak ikut serta secara penuh demi terwujudnya kearifan budaya lokal tersebut.

Pemerintah Daerah sendiri diakui kurang memperhatikan jalannya tradisi ini. Pemerintah lebih mempedulikan tradisi "kirab" yang diperingati tiap HUT Jepara. Sedangkan tradisi yang lebih mengakar, dan lebih lama di Jepara justru cenderung diabaikan. Memang diperlukan kepedulian penuh oleh pemerintah daerah, khususnya masyarakat agar tradisi ini tetap dapat dipertahankan.

Sumber :
http://m.liputan6.com/news/read/778351/tradisi-baratan-yang-terkikis-oleh-waktu#sthash.9pD2hvKS.dpuf

http:/Wikipedia.org


1 comment:

Sayyed said...

Assalamu 'alaikum warahmatullahiwabarakatuhu