Tahun 2012 memang dijadikan batas akhir oleh AFC terkait pengelolaan Liga Profesional disejumlah negara Asia, khususnya Indonesia!
Bukan cuma Asia (Indonesia), Yunani dan Argentina jg kabarnya akan mengubah format kompetisinya sesuai regulasi. Korupsi jadi penyakit mereka
Soal Liga Profesional. Apa dan bagaimana?
Nama kompetisi, mau ISL, LSI, atau Liga Pro, bukan sesuatu yg esensial. Bagaimana menjadikan kompetisi itu profitable.
Profitable dalam arti sesungguhnya, baik secara bisnis (finansial) maupun prestasi yang kita harapkan.
Sejak tahun 2007, AFC sudah menetapkan standar kompetisi professional yang baku. Targetnya 2012 kompetisi sudah mapan.
Ada Lima aspek yang ditetapkan AFC tuk klub profesional: legal, infrastruktur, sporting, administrasi dan personal serta finansial.
Aspek Legal mensyaratkan klub hrs berbadan hukum yg dibuktikan dgn dokumen2 pendukung. Perseroan inilah yg akan jd mesin uang klub.
Aspek infrastruktur klub hrs punya stadion berstandar AFC, salah satunya penerangan, tempat latihan n fasilitas pendukung lainnya.
Aspek sporting: Klub harus punya program pengembangan pemain muda, punya tim kelompok umur, dan pelayanan medis.
Aspek Administrasi dan Personal: klub hrs punya kantor dan memiliki standar manajemen profesional. Tak lagi dilakukan sambilan.
Aspek finansial: INI YANG PENTING! Klub hrs punya RAB baik penerimaan maupun pengeluaran, proyeksi rugi laba dan cash flow.
Nah, lima aspek tersebut bila dijalankan dengan konsisten niscaya era industri sepakbola Indonesia sudah berjalan sesuai harapan.
Sayangnya, gaya "negosiasi" masih menjadi pilihan yang membuat kompetisi kita terkesan marak, tp penuh onak.
Kompetisi memang berjalan, tapi out put yang dihasilkan masih sebatas euforia sesaat dan belum ada parameter yg jelas.
Apa saja permasalahan kompetisi sepakbola Indonesia, coba indentifikasi saja agar bisa dimanfatkan para pelaku bisnis bola.
Saat ini, mayoritas klub sepakbola Indonesia tidak murni profesional. Belum punya nilai komersil dan sumber dana di luar APBD.
Saat ini klub sepakbola Indonesia belummemiliki aset dan fasilitas mendasar seperti stadion berstandar dan pemusatan latihan.
Saat ini kompetisi sepakbola Indonesia masih memiliki nilai komersil rendah dan tak menjamin profitabilitas klub peserta.
Kualitas administrasi kompetisi juga masih lemah. Utamanya soal penjadwalan dan perizinan pertandingan.
Padahal, sebenarnya kita punya modal besar untuk membangun industri sepak bola. Negeri kita adalah pasar "termegah" untuk sepakbola.
Modal kita antara lain: sepakbola olahraga nomor satu yg paling digemari, animo masyarakat tinggi, juga rating televisi.
Berdasarkan penelitian tns Sport, prosentase penggemar sepakbola di Indonesia mencapai 88 persen. Kalahkan bulutangkis dan motosport.
Masih berdasarkan TNS Sport, penonton sepakbola di tv Indonesia mencapai 86 persen. Kalahkan motosport dan tinju.
Penonton di lapangan juga jadi aset. Rata-rata penonton mencapai 12.500 perlaga. Kalahkan MLS (12 ribu), K-League (7.200).
Rating televisi juga tinggi. TNS menyebut ISL ditonton 8,75 juta pemirsa. Kalahkan, Euro 2004, Liga Champions, dan Liga Inggris.
Nah, kenapa kompetisi sepakbola Indonesia sampai sekarang dianggap belum menjual? Pasti ada yg salah dalam pengelolaan.
Salah satu penyebabnya klub tak diarahkan untuk mandiri, profesional, dan lepas dari ketergantungan dari APBD.
Penyebab lainnya pembagian keuntungan yang tak proporsional antara klub dan pengelola kompetisi.
Kelemahan lainnya adalah terlalu murahnya pemasukan dari hak siar televisi. Pdhl, itu salah satu aspek pendapatan terbesar klub.
Saya coba hitung secara matematis : hak siar kompetisi kita hanya Rp 100 miliar untuk 10 tahun. Artinya, hanya 10 miliar pertahun.
Klub hanya dapatkan Rp 25 juta per siaran untuk sore hari. Bila dikali 156 partai total hanya Rp 3,9 miliar yg didapat klub yg ditayangkan.
Bila ongkos produksi pemilik hak siar setiap tayang Rp 50 juta X 156 partai total Rp 7,8 miliar.
Kesimpulannya official broadcaster per musim keluarkan Rp 10 miliar + 3,9 miliar + 7,8 miliar = Rp 21,7 miliar Berapa keuntunganyg didapat tv broadcaster untuk 156 laga kompetisi sepak bola Indonesia?
Primetime = 5 spot x 7 jeda x 80 partai x 15 juta = Rp 42 miliar.
Tayangan sore: 5 spot x 7 jeda x 76 laga X Rp 8 juta = Rp 21,28 miliar.
Total revenue yang didapat tv broadcaster (156 partai) adalah 42 miliar + 21,28 miliar = 63,28 miliar.
Keuntungan bersih tv broadcaster adalah 63, 28 miliar - biaya hak siar, macht fee, plus produksi Rp 21,7 miliar = 41,58 miliar.
Artinya hanya enam persen revenue yang masuk ke klub (3,9 miliar) dari total yg diterima tv broadcaster pertahunnya.
Bagaimana nilai komersil dari sponsor? Apa yang didapatkan klub? Berikut hitungan matematikanya,
Nilai sponsor utama kompetisi kita musim lalu Rp 41 miliar
Ongkos biaya kompetisi: honor perangkat pertandingan Rp 4,4 miliar, Administrasi kantor 5 miliar, marketing 1 miliar = 10,4 miliar
Total keuntungan bersih yang didapat pengelola kompetisi: Sponsor (41 miliar) - biaya kompetisi (10,4 miliar) = Rp 30,6 miliar
Dari profit yang didapatkan pengelola kompetisi Rp 30,6 miliar semusim, klub tak mendapatkan bagian apa-apa! Adil?
Ke depan kompetisi harus berubah. Klub harus jadi subyek, bukan lagi obyek! PSSI harus menjadikan kompetisi sbg "mesin" uang klub
Untuk kompetisi musim depan bila dikelola dengan baik akan cukup menguntungkan bagi klub.
Klub harus menjadi pemilik kompetisi dan memiliki hak mendapatkan share keuntungan yang sepadan.
Untuk sponsor, pengelola liga minimal punya peluang untuk mendapatkan dana Rp 100 miliar (sponsor utama plus pendukung)
Untuk hak siar dari 306 pertandingan, pengelola liga berpotensi mendapatkan Rp 100 miliar bila dibagi ke 2-3 tv broadcaster
Hitungan kasar saya potensi revenue kompetisi kita musim depan mencapai : Sponsor 100 miliar + tv Rp 100 miliar = Rp 200 miliar
Bila mengikuti aturan saham di Liga Inggris yakni 80 persen milik klub dan 20 persen pengelola liga, klub akan dapat profit
Bila kompetisi elite kita diikuti 18 tim maka hak klub adalah 80 % X Rp 200 miliar = Rp 160 miliar
Total Rp 160 miliar dibagikan ke 18 klub peserta, maka masing-masing akan dapat Rp 8,8 miliar
Total pemasukan dr saham liga 8,8 miliar perklub masih bisa bertambah dr pemasukan tiket, penjualan marchendise, dan juga sponsor klub
Artinya, bila pengelolaan kompetisi digarap secara profesional ditaksir tiap klub minimal dapatkan pemasukan bersih 10-15 miliar
Total dana Rp 15 miliar yg akan diterima klub tiap tahun sebenarnya sdh cukup untuk melakoni kompetisi asalkan dilakukan efisiensi
Caranya: rasionalisasi kontrak pemain, hilangkan biaya2 nonteknis, dan tentu biaya-biaya "siluman" lainnya
diambil dari berbagai sumber
1 comment:
sepak bola,,walaupun gak terlalu suka sih,,tapi gapapa dehk..makasih
Post a Comment