Blogger Widgets TAMAMI JAYA: NASIONALISME YANG BERKARAKTER
SELAMAT DATANG Di Web tamamijaya.blogspot.com Jalan DR.Wahidin 76 Dema'an Jepara

Monday, 10 October 2011

NASIONALISME YANG BERKARAKTER

Tugas makalah

DOSEN PENGAMPU:
NAMA : HERMAWAN
131784447

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN PJKR
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
2010
DAFTAR ISI


HALAMAN DEPAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA


KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT,karena tanpa rahmat dan ridho-Nya kami tidak bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada bapak HERMAWAN selaku dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Olahraga yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Makalaah ini disusun berdasarkan tugas mata kuliah Sosiologi Olahraga yang dibimbing oleh bapak.
Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “NASIONALISME YANG BERKARAKTER”
Demikian makalah ini kami buat, makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen pengampu demi tercapainya makalah yang sempurna.

Jepara 15 Oktober 2010

Penyusun

ACHMAD CHUSAIRI
NIM : 6102910241
PJJ PGPJSD Unnes Semarang 2010
BAB I
PENDAHULUAN


Latar belakang
Kesebelasan Timnas PSSI senior baru saja kalah 1-7 melawan Timnas Uruguay (Peringkat IV Piala Dunia 2010 di Afsel) dalam uji coba di Stadiun Utama Gelora Bung Karno pada tanggal 8 Oktober 2010. Orang mengatakan sepakbola Indonesia tidak berdaya dalam uji coba itu, ibarat semut melawan gajah, David dan Goliath atau apalah artinya. Sebaliknya Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti pernah mengawinkan medali emas tunggal putra dan tunggal putri di Olimpiade Barcelona(Spanyol)1992. Dikatakan mereka berdua dan kawan-kawan dari Indonesia mampu dan berdaya merebut medali untuk ukuran event tingkat dunia, nomor satu, tertinggi dari peserta 171 negara yang ikut Olimpiade Barcelona. Masalahnya sekarang, kita dalam keadaan tak berdaya saat ini dalam bidang olahraga multi event bila ditinjau dari peringkat Olimpic Games, Asian Games bahkan untuk tingkat Asia tenggara (Sea Games) 2009, peringkat Indonesia masih di bawah Thailand dan Vietnam. Hal inilah yang perlu diluruskan agar prestasi olahraga Indonesia dapat kembali menjadi Garuda yang ditakuti dunia.
Tentang Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Wikipedia).
Nation berasal dari bahasa latin nation yang berakar pada kata nascor “saya lahir”. Selama kekaisaran Romawi, kata nation secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing (Zernatto 1944).
Suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos dan simbolisme (Anthony Smith 1986).
Sejarah olahraga Indonsia sendiri dengan jelas menunjukan bahwa ada hubungan nyata antara olahraga pada masa-masa akhir kolonial, olahraga dipergunakan alat untuk membina nasionalisme yang berkembang dimasyarakat. Zaman perang kemerdekaan dipergunakan untuk membina patriotisme. Sedangkan pada tahun-tahun awal perkembangan orde baru olahraga lebih banyak berfungsi sebagai pembinaan integrasi bangsa. Nyatalah bahwa pemerintah sudah terlibat dalam kegiatan olahraga. Kadar keterlibatan itu mungkin besar tetapi juga mungkin kecil. Amerika serikat yang menganut liberalisme, dimana semangat deregularisme sangat besar dan anti campur tangan pemerintah tidak luput dari intervensi pemerintah dlam olahraga. Nasionalisme dalam olahraga ini sangat mencolok dinegara-negara blok sosialis dan Dunia ketiga. Di Negara tersebut pemerintah secara langsung atau tidak langsung ikut serta dalam kegiatan olahraga. Bahkan secara khusus Negara-negara tersebut membentuk suatu lembaga pemerintah untuk mengurusi olahragadan keolahragaan.
Kajian historis
Secara historis, olahraga tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas produksi, misalnya melempar, meloncat, berlari, bergulat, berenang, dan lain sebagainya. Saat jaman Yunani Kuno, pertunjukan olympiade bukan sekedar pertunjukan permainan atau hiburan, melainkan juga sebagai ajang yang adil untuk menunjukkan tingkat kemajuan peradaban suatu bangsa atau masyarakat, misalnya arsitektur, peralan perang, patung, keahlian berperang dan sebagainya. Presiden Bolivia Evo Morales pernah mengatakan, olahraga sangat penting untuk memajukan kesehatan, integrasi, dan kebudayaan.
Dalam sejarah nusantara, jauh sebelum kedatangan kolonialisme, kita sudah mengenal berbagai jenis olahraga dan permainan rakyat seperti pencak silat, karapan sapi, gasing, main hadang, lompat batu, dan lain sebagainya. Ketika kolonialisme sudah masuk, mereka juga membawa pengaruh pada berbagai jenis olahraga baru, misalnya sepak bola dan tenis.
Dalam sejarah pergerakan, olahraga pernah dilirik sebagai salah satu cara untuk menyemai persatuan anti-kolonial di kalangan pemuda. Di tangan seorang aktivis bernama Soeratin Sosrosoegondo, sepak bola dijadikan alat konsolidasi pemuda dan sekaligus menghindari penangkapan dari polisi rahasia Belanda (PID). Untuk itu, setelah melalui konsolidasi sangat panjang, Soeratin berhasil mendirikan organisasi bernama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI), yang tujuannya disebut untuk melawan kolonialisme Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Indonesia pernah memiliki tim nasional sepak bola yang ditakuti di Asia dan eropa. Di Olimpiade Melbourne 1956, PSSI berhasil menahan imbang Uni-sovyet dengan skor 0-0. Setelah itu, Indonesia juga pernah menorehkan prestasi internasional di olahraga bulu tangkis. Dunia akan bergetar ketika mendengar nama-nama seperti Rudy Hartono, Liem Swie King,Tan Joe Hok, Fery Soneville, Susi Susanti, Ivana Lee, dan lain-lain.
Namun, sekarang ini, kita semakin jarang mendengar lagu kebangsaan “Indonesia Raya” berkumandang saat penyerahan medali di ajang-ajang olahraga Internasional, bahkan di Asia Tenggara pun Indonesia kian terpuruk. Kita lebih sering mendengar berita “tawuran suporter” ketimbang prestasinya.


BAB II
PEMBAHASAN

Martabat bangsa
Prestasi bola bisa menjadi “pengangkat” martabat suatu bangsa. Para pemain kita, ketika ikut piala dunia atas nama Hindia-Belanda di tahun 1938, sangat ingin bertemu Belanda dan mempermalukannya. Ini juga terjadi di piala dunia 1986 di Meksiko, dimana Argentina berhasil mengalahkan Inggris. “Meskipun sebelum pertandingan dikatakan sepak bola tidak ada hubungannya dengan perang Malvinas, tapi kami tahu mereka (Inggris) telah membunuh banyak pemuda-pemuda Argentina seperti menembaki burung kecil. Dan sekarang kami bisa mengalahkan mereka tanpa sebutir peluru pun,” demikian komentar Maradona atas pertandingan itu.
Jauh dari itu, olahraga juga dapat dipergunakan untuk menggalang integrasi dan persatuan negara-negara anti-imperialis, seperti perhelatan GANEFO (Games of The New Emerging Forces) pada tahun 1963. Melalui Ganefo, Soekarno sangat berkayinan bahwa negara-negara bekas jajahan bisa membangun martabat di hadapan bangsa-bangsa kolonialis. Dan cita-cita itu bisa dianggap berhasil; untuk pertamakalinya dalam sejarah dunia, ada ajang olahraga internasional tanpa keterlibatan negeri imperialis.
Oleh karena itu, tidak dapat ditawar-tawar lagi, pemerintah harus turun tangan untuk membenahi olahraga nasional. Pekerjaan mendesak yang perlu dilakukan adalah “cuci gudang”, yaitu membersihkan pengurus-pengurus cabang olahraga yang tidak becus dan korup. Selain itu, Mempora sekarang ini juga perlu diberhentikan, karena lebih banyak beretorika ketimbang bertindak secara nyata. Dalam kutipan perkataan Bung Karno mengenai pentingnya olahraga untuk martabat bangsa. Bung Karno berkata; “Revolusi olahraga demi mengharumkan nama bangsa. Olahraga adalah bagian dari revolusi multikompleks bangsa ini.”
Dilihat secara kasar, proyek Bung Karno adalah penciptaan suatu nation-state melalui apa yang dinamakannya nation-and-character building. Apa yang dianggap se-bagai tugasnya adalah mengubah kekerabatan tradisional dalam kelompok-kelompok etnik dan suku menjadi keke-rabatan baru dalam "bangsa Indonesia" yang diperkenalkannya sebagai suatu imaji dan ikon baru untuk menggalang solidaritas sipil dari berbagai kelompok di tanah air. Pemisahan negara dan masyarakat belum mencolok dalam masa pemerintahannya, karena gagasan negara itu sendiri kalah pamor dari gagasannya tentang bangsa, sementara konsep negara selalu diasosiasikan dengan colonial state.
Pemerintahan Soeharto semakin mempertegas sosok negara, sementara konsep negara-bangsa yang demikian kuat pada masa Soekarno terdesak oleh penerapan negara sebagai administrative state. Pemisahan negara dan masyarakat menjadi jelas, tetapi negara menjadi sangat do-minan sehingga menguasai hampir segala sektor kehidup-an masyarakat. Agama diurus oleh negara, jumlah anak ditetapkan oleh negara, sepak bola disupervisi oleh negara, hingga ke jenis dan warna baju dipilih oleh negara de-ngan memperkenalkan berbagai jenis seragam. Monopoli negara dalam penggunaan kekerasan diterapkan secara luas, tetapi wewenang negara untuk menarik pajak tidak mendapat perhatian cukup.
Setelah Soeharto turun dan Habibie mengambil alih kepemimpinan nasional, mulai muncul soal tentang territorial state, yang dimulai dengan lepasnya Timor Timur sebagai salah satu provinsi negara Indonesia menjadi negara sendiri. Masalah ini terus berlanjut dalam masa pemerintahan Gus Dur yang harus menghadapi masalah Pa-pua, dan mendapat perhatian khusus dalam pemerintahan Megawati yang berkali-kali menekankan pentingnya integrasi NKRI, khususnya dalam menghadapi Aceh. Dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masalah teritorialitas muncul kembali dalam kasus Ambalat.

Karakteristik solusinya
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan). Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terbsan kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terbsan kurikulum yang demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan bahkan umat manusia.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Integrasi dilhami nasionalisme
2. Secara historis prestasi olahraga Indonesia pernah jaya
3. Martabat bangsa dapat terangkat melalui olahraga
4. Perlu dikembangkan Pendidikan nasinalisme yang berkarakter
Terimakasih atas kesempatannya.



Referensi :


Tabloid BOLA 2007
SARASEHAN OLAHRAGA oleh KONI Jepara di Jepara 2009
doc.:tamami_jaya@yahoo.com

No comments: