Mendatangkan ribuan interisti ke SUGBK |
Kata sponsor menjadi sesuatu yang
diidamkan-idamkan oleh banyak kalangan, tidak hanya para pelaku olahraga tetapi
dari event-event musik, perayaan hari besar maupun kegiatan kecil-kecilan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sponsor merupakan sumber pemasukan yang sangat
dibutuhkan. Pelaku-pelaku olahraga khususnya para
pengelola dan pengurus klub sepakbola untuk lebih dapat bercermin pada pengelolaan klub yang berkompetisi
di tingkat internasional, baik itu Serie A di Italia, Premier League di
Inggris, La Liga di Spanyol ataupun di Bundes Liganya Jerman. Bukan dalam arti
meniru atau membuat teknik manajemen seperti di klub-klub itu tetapi dapat
terinspirasi dengan model penggalian dananya.
Sedikit membahas tentang model
pendapatan dan penghasilan klub di Serie A, secara standar, pemasukan klub bisa
berasal dari penjualan tiket (Termasuk tiket terusan), kontrak televisi, merchandising,
penjualan pemain, uang hadiah, investasi, sponsorship serta bunga bank. Porsi
pemasukan ini semestinya berimbang.
Di Italia kasusnya tidak demikian.
Pemasukan uang klub-klub Serie A sangat bergantung pada kontrak dengan
televisi. Angkanya sampai lebih dari 50% total pendapatan klub. Lima klub
terdepan Italia bisa dianggap mewakili.
Pemasukan uang klub AC Milan, dari
kontrak televisi mencapai 59% Juventus 54% Inter Milan 58% AS Roma 58%
sedangkan Lazio 53%. Klub Italia tidak mampu memaksimalkan pemasukan dari tiket
serta sektor komersial., tidak seperti klub kaya di negara lain. Ambil contoh
klub paling kaya di dunia tahun 2006 versi Deloitte Football Money League yakni
Real Madrid dengan bintang-bintang dunianya seperti Christiano Ronaldo,
Higuain, Benzema, Ozil dll. Pemasukan El Real dari kontrak televisi hanya 32%
dan tiket 23% . Namun Madrid mampu mendatangkan uang dari bintang mereka lewat
sponsorship, lisensi dan merchandising. Pemasukan dari sektor komersial ini
bisa mencapai 45%. Dengan kondisi keuangan yang tidak sehat, klub-klub Italia
jadi harus memikirkan cara agar mereka bisa survive. Berbagai cara agar mereka
tetap survive antara lain ada klub yang memberlakukan salary cap (pembatasan
gaji pemain) salah satunya adalah contoh pemain Lazio yakni Gli Aquillotti yang
memiliki pendapatan diatas Rp. 9,5 M semusim.
“Ketika saya memperkenalkan salary
cap tiga tahun lalu (tahun 2005), semua menertawakan saya, sekarang ide kami
menjadi model.” Ujar bos Lazio Claudio Lotto di Messaggero. Bagi klub yang
tidak memberlakukan salary cap, tetap ada cara lain untuk mengurangi
pengeluaran gaji. Sebut saja Juventus yang tega memangkas 20% mascot Alexandro
Del Pierro dalam proposal perpanjangan kontrak yang baru. Ada pula tren untuk
tidak menjual hak siar ke televisi secara kolektif, yang dilakukan sejak 1999.
Klub menjual hak siar secara individu, tetapi efeknya ada perbedaan signifikan antara
hak siar klub besar dengan klub kecil.
Tren lain adalah belanja pemain yang
tidak lagi menghabiskan dana gila-gilaan. Peminjaman, status kepemilikan
bersama (comproprietal) atau merekrut pemain yang sudah berstatus free transfer
sehingga gratis merupakan pilihan ideal. Masalah gaji dan pengetatan anggaran
belanja pemain ini yang membuat klub-klub Italia belakangan kalah bersaing
dengan aksi klub Inggris atau Spanyol di bursa transfer.
Yang menjadi hal vital adalah
mengenai bonus, di Italia bonus paling tinggi yang diberlakukan adalah 6.5 juta
euro (sekitar Rp.80 M). Angka ini malah sudah lama dilewati liga-liga di negeri
top lainnya, terutama Inggris dan Spanyol.(Kutipan
tabloid BOLA :2008)
Penuhnya suporter sangat diperlukan |
Disini bukan tak hendak menggugah
klub sepakbola profesional kita
supaya meniru cara-cara menggali dana klub seperti di atas, tetapi setidaknya
model seperti itu dapat dijadikan referensi untuk menjadikan klub ISL-IPL lebih
profesional dan layak jual sehingga dapat bersaing secara kuantitas maupun
kualitas. Tetapi sekali lagi dalam hal ini induk organisasi seperti PSSI juga
perlu dipertanyakan posisinya dalam urusan sponsorship, kalau tidak mau
dikatakan seperti makelar. Karena apa? IPL
sebagai kompetisi resminya PSSI (ketum Djohar Arifin) klub di IPL banyak permasalahan
utamanya telat gaji pemain yang sampai berbulan-bulan mengharap kucuran dana
dari konsorsium. Belum lagi permasalahan lewat PSSI (ketum La Nyala Mattaliti)
yang sementara ini masih eksis lewat ISL di AN-teve.
Sehingga klub yang seharusnya bisa mandiri bahkan bisa menjadi sebuah bisnis
besar tidak berkutik dengan kekuasaan PSSI
(dipaksa berkompetisi di IPL). Maka perlu wacana
pembebasan klub untuk mencari sponsor tanpa harus melibatkan pihak PSSI (Konsorsium berjanji mencarikan sponsor).
Misalkan Persija Jakarta dapat menghitung pemasukan klub seandainya dari Tiket
16% Komersial 25% Kontrak TV 59% atau Arema Malang dari tiket berani 42%
Komersial 29% Kontrak TV 29% atu dengan klub SriwijayaFC Palembang mematok
Tiket 24% Komersial 59% Kontrak TV 17%.
Sponsor merupakan salah satu sumber
pemasukan uang yang seharusnya banyak membantu proses operasional klub. Di klub
ISL-IPL memang peran sponsor masih sepenggal-sepenggal dalam arti satu klub
tidak hanya satu pesan sponsor tetapi lebih dari satu. Misal untuk produk
kostum dari Nike, logo kostum bertuliskan Bank Papua.
Memang harus ada pengaturan yang
jelas dalam hal sponsor. Bisa saja klub mengikat kerjasama dengan
perusahaan-perusahaan yang pemiliknya masuk orang-orang terkaya di Indonesia
misal Djarum, HM Sampoerna, Grup Bakrie atau perusahaan lokal seperti Sido
Muncul, Bank pemerintah bahkan perusahaan asing seperti Freeport, Honda, Yamaha
dapat dijadikan partner. Dalam hal ini penulis memberi apresiasi yang tinggi
terhadap perusahaan Djarum, bahwa melalui Djarumlah prestasi-prestasi olahraga
anak negeri dapat terakomodasi. Tidak hanya melalui sepakbola saja tetapi
Djarum sudah mendunia dengan bulutangkisnya. Menurut saya pemerintah tidak
usahlah menyampaikan pesan-pesan pihak asing yang justru malah menghancurkan
tidak hanya segi olahraganya tetapi masuk ke segi ekonomi seandainya pemerintah
ikut-ikutan melarang produk rokok. Memang kalau ada sponsor selain Djarum
boleh-boleh saja dijadikan partner, seperti dulu ada Liga Djos Indonesia
kemudian ini mengikat Ti Phone.
Betapa manisnya jika nantinya setiap
klub diberi otoritas sendiri tanpa dicampuri tangan-tangan PSSI, dan untuk saat
ini memang setiap klub harus mulai dikelola secara proporsional dan profesional
sejati sehingga diharapkan ada sedikit klub tapi berlabel profesional. Karena
untuk menuju ke profesional ada syarat-syarat yang harus dipenuhi klub. Maka
apabila itu dikaji dan dinilai dari berbagai aspek, maka dapat menjadi peluang
bisnis seperti halnya klub-klub besar di negara sepakbola, alasannya :
1) Dengan
majunya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat terhadap kualitas sebuah
klub sepakbola dan pemain berkualitasnya, maka penonton akan datang ke venue
meski ada siaran live dari AN-Teve sekalipun.
2) Pihak
sponsor merasa untung dengan pajangan produknya yang dihadiri ribuan penonton
di stadion dan jutaan pemirsa di televisi.
3) Dengan
berkembangnya bisnis sepakbola maka sepakbola dapat menjadi komoditas unggulan
ekonomi baik di tingkat nasional maupun daerah.
4) Dengan
ditargetkannya pariwisata sebagai komoditas unggulan abad 21, maka
industri sepakbola dapat berpeluang maju
seiring dengan kemajuan industri pariwisata.
Tetapi
apabila dikaji juga dari beberapa aspek peluang bisnis sepakbola dapat juga
menjadi ancaman bagi keberadaan pemain-pemain muda usia, alasannya :
1) Kurang
profesionalnya cara, sistem dan pengelolaan sepakbola di Indonesia serta kurang
terpadu dan selarasnya penjabaran kebijakan pemerintah, maka akan mengancam
bisnis sepakbola itu sendiri.
2) Dengan
terbukanya pasar barang dan jasa, baik regional maupun global terbuka
kesempatan bagi masuknya tenaga kerja asing dari negara-negara Asean dan manca negara lainnya, sehingga
mengancam keberadaan pemain nasional dan lokal untuk bersaing dengan kepiawaian
dari segi teknik, taktik, fisik dan psikis dengan pemain asing.
3) Adanya
serbuan pemain-pemain asing yang harganya relatif lebih murah, lebih
berkualitas, lebih bermutu dibanding dengan pemain lokal, akan mengancam
keberadaan pemain lokal untuk bisa bersaing.