Profil guru sekarang |
Menengok
ke belakang sebentar, masuk sekolah jaman dulu anak-anak belum bisa membaca. Sebagai
contoh di tahun yang tidak terlalu kuno yaitu tahun 80-an. Sebagian baru
belajar mengenal huruf dan mengeja ketika sudah di SD. Begitu juga dengan berhitung,
banyak juga yang belum bisa penjumlahan sederhana. Tapi semua itu tak jadi
masalah. Guru SD pada waktu itu meski umumnya hanya lulusan SPG (Sekolah
Pendidikan Guru, setingkat SMA) bahkan kursus kilat KPG (Kursus Pendidikan
Guru) selama 3 bulan namun memiliki tingkat kesabaran yang luar biasa.
Murid-murid yang nakal, cengeng, manja, ngambekan, semuanya bisa mereka asuh.
Untuk mempercepat siswa berkompetisi dalam hal kemampuan membaca, hampir tiap
hari ada pelajaran “dikte”. Sedangkan untuk urusan berhitung, biasanya dipakai
metode “mencongak”. Yang terakhir ini biasanya dilakukan saat menjelang jam
pulang sekolah, siapa yang bisa menjawab dengan tepat soal penjumlahan yang
diberikan guru, boleh pulang duluan. Wow…, siapa yang gak senang boleh pulang
dulu – meski sebenarnya itu memang sudah jam pulang sekolah dan cuma beda
beberapa menit saja dari teman yang lain, toh tetap saja memberikan kebanggaan
tersendiri kalo boleh pulang karena bisa menjawab soal – itu sebabnya semangat
berkompetisi yang sehat antar siswa selalu hidup. Kompetisi yang menyenangkan
dan tidak bikin stress. Sebab yang gak bisa tak bakal dihukum. Mereka tetap
akan pulang juga akhirnya. Urusan perkalian, setiap hari pasti ada hafalan
perkalian
Pasal-pasal
dalam UUD 1945 dan butir-butir sila dalam Pancasila hafal di luar kepala pada
pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila).
7
keajaiban dunia, danau, kota-kota di Indonesia pada pelajaran IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial) hafal di luar kepala.
Buku
yang dimiliki ada 3 macam : buku tulis biasa, buku tulis halus (yang memiliki 3
garis : 2 garis dengan ketinggian kolom normal plus 1 garis dengan ketinggian
kolom separuh dari yang normal), dan buku kotak-kotak. Buku tulis halus untuk
melatih kami menulis dengan baik setiap abjad sesuai dengan kaidah bentuk abjad
dan juga melatih kami menyambung abjad-abjad tersebut yang dikenal dengan
tulisan “latin” atau huruf bersambung. Sedangkan buku kotak-kotak dipakai
khusus untuk pelajaran berhitung, agar siswa menuliskan setiap angka pada satu
kotak dan angka berikutnya pada kotak yang lain, sehingga memudahkan
penjumlahan dan pengurangan. Guru SD memberikan penilaian untuk bentuk tulisan
siswa – bagus atau jeleknya – pada pelajaran menulis halus.
Untuk
buku teks, anak SD jaman saya tidak perlu pusing. Seluruh Indonesia buku teks
yang dipakai sama, terbitan Balai Pustaka. Orang tua siswa tak perlu merogoh
kocek untuk membeli, sebab pihak sekolah menyediakan buku paket dalam jumlah
yang cukup untuk dipinjamkan kepada siswa. Kalaupun ada orang tua murid yang
membeli sendiri (Tetapi jarang toko buku yang menjual terbitan Balai Pustaka),
buku paket itu bisa disimpan dan diwariskan kepada adik-adik siswa di
tahun-tahun berikutnya. Para guru selain memegang buku paket juga mendapat
“Buku Panduan” yang memberikan mereka garis arahan materi ajar yang harus
diberikan kepada siswa, pola latihan soalnya seperti apa, serta alokasi waktu
untuk tiap bab/materi. Saya gak tahu pasti, apa karena sejak awal buku paket
yang digunakan sama dan panduan mengajar guru juga sama se Indonesia, maka
kualitas pendidikan waktu itu seolah-olah STANDAR meski tak melalui Ujian
Nasional.
Kalau
ada lomba SPI (Senam Pagi Indonesia) antar SD, rata-rata seragam yang dipakai
peserta lomba adalah kaos putih tipis lengan pendek tanpa kerah (Yang saya
ingat merk Jupiter)
Guru
yang mengajarpun jarang, kebanyakan guru yang kami kenal tidak ada yang berasal
dari wilayah sekitar, rata-rata berasal dari kota daerah selatan (Bantul,
Sleman, Gunung kidul, Klaten dan Jogjakarta)
Guru pada jaman itu merupakan suatu profesi yang
sangat terhormat, karena dianggap memiliki pengetahuan lebih daripada
masyarakat setempat. Masyarakat juga menuntut para guru mengajarkan nilai moral
kepada anak-anak mereka, di samping pengetahuan baca tulis dan berhitung. Guru
juga punya hak otoriter sebagai pengganti orang tua bila anak berada di
sekolah. Cara mendidik mereka lebih banyak menggunakan pendekatan pribadi yang
membuat interaksi guru murid lebih erat. Hal ini terbawa sampai di luar jam
sekolah karena kondisi social masyarakat jaman dulu yang lebih bersifat
kekeluargaan.
Tetapi untuk ekonomi sehari-hari, guru bukanlah
pilihan yang tepat bagi pekerjaan yang diinginkan orang tua siswa.
Industri
perkayuan mata pencarian rata-rata orang tua siswa, tidak ada yang tertarik
untuk menjadi seorang guru. Karena begitu sudah belajar sambil bekerja di
industry meubel mencari uang tidak terlalu sulit di kawasan meubel.
“Jangan
nikah sama guru, kamu nanti susah, mau dikasih makan apa nanti…”, “jangan jadi
guru, gajinya kecil, cari aja pekerjaan yang lain yang lebih enak….”. Begitulah
kira-kira mendengar cerita beberapa guru-guru yang sudah lama mengabdikan
dirinya di dunia pendidikan. Statement seperti itu sering muncul di jaman
dahulu dimana profesi guru masih dipandang sebelah mata. Determinasinya simple,
karena penghasilannya kecil. Begitulah alasan orang tua dulu kalau berpesan
kepada anak gadisnya yang mau menikah agar tidak dengan lelaki yang berprofesi
sebagai guru, atau kepada puteranya yang ingin mencari pekerjaan untuk tidak
bekerja sebagai guru.
Tetapi
sekarang berbanding terbalik dengan pemikiran orang tua jaman sekarang.
Berlomba-lomba orang tua menyarankan anaknya agar mau masuk perguruan tinggi
yang membuka program keguruan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) menjadi
program studi favorit. Gaji guru lumayan tinggi apalagi ditambah tunjangan
sertifikasi.
Padahal
menjadi guru itu profesi yang unik, karena tidak hanya masalah profesi yang
sekarang digembar-gemborkan Guru Profesional. Ada hal yang lebih penting yaitu
niat dari lubuk hati untuk menjadi guru, mencerdaskan anak bangsa, bukan melulu
perihal honor yang sering diomongkan para guru-guru honor (Wiyata Bakti)
Setelah sertifikasi |
Buang
rasa iri pada guru senior (Guru yang sudah lama dan penerima tunjangan
sertifikasi), rasa iri yang tidak hanya menghinggapi pikiran guru-guru junior (Ingin
cepat diangkat PNS dan ingin segera mendapat tunjangan sertifikasi) rasa iri
yang menghinggapi semua orang, bahkan pemangku jabatan yang mengatur nasib
guru.
Sertifikasi
merupakan jawaban pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru.
Gaji pokok guru akan dilipatgandakan jika mencukupi kualifikasi tertentu
sebagai penerima tunjangan sertifikasi. Sebuah iming-iming yang cukup
menggiurkan bagi mereka yang berprofesi guru dengan gaji pas-pasan. Hanya saja,
sepertinya iming-iming itu diberikan dengan setengah hati. Untuk menuntut hak
sertifikasi, banyak sekali syarat yang harus dipenuhi. Mulai dari tercukupinya
porsi jam mengajar sesuai ketetapan yang berlaku hingga lama masa kerja. Banyak
guru yang pada akhirnya harus mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan
bidangnya untuk memenuhi porsi jam mengajar yang telah ditentukan. Banyak pula
yang berkorban moril dan materiil untuk mengikuti kuliah penyetaraan demi
mendapatkan gelar sarjana yang juga termasuk persyaratan lulus sertifikasi.
Jadi mengapa ingin menjadi Guru ?
Jadi mengapa ingin menjadi Guru ?
No comments:
Post a Comment