Blogger Widgets TAMAMI JAYA: June 2012
SELAMAT DATANG Di Web tamamijaya.blogspot.com Jalan DR.Wahidin 76 Dema'an Jepara

Friday 1 June 2012

SPONSOR

Mendatangkan ribuan interisti ke SUGBK
 Kata sponsor menjadi sesuatu yang diidamkan-idamkan oleh banyak kalangan, tidak hanya para pelaku olahraga tetapi dari event-event musik, perayaan hari besar maupun kegiatan kecil-kecilan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sponsor merupakan sumber pemasukan yang sangat dibutuhkan. Pelaku-pelaku olahraga khususnya para pengelola dan pengurus klub sepakbola untuk lebih dapat bercermin pada pengelolaan klub yang berkompetisi di tingkat internasional, baik itu Serie A di Italia, Premier League di Inggris, La Liga di Spanyol ataupun di Bundes Liganya Jerman. Bukan dalam arti meniru atau membuat teknik manajemen seperti di klub-klub itu tetapi dapat terinspirasi dengan model penggalian dananya.
            Sedikit membahas tentang model pendapatan dan penghasilan klub di Serie A, secara standar, pemasukan klub bisa berasal dari penjualan tiket (Termasuk tiket terusan), kontrak televisi, merchandising, penjualan pemain, uang hadiah, investasi, sponsorship serta bunga bank. Porsi pemasukan ini semestinya berimbang.
            Di Italia kasusnya tidak demikian. Pemasukan uang klub-klub Serie A sangat bergantung pada kontrak dengan televisi. Angkanya sampai lebih dari 50% total pendapatan klub. Lima klub terdepan Italia bisa dianggap mewakili.
            Pemasukan uang klub AC Milan, dari kontrak televisi mencapai 59% Juventus 54% Inter Milan 58% AS Roma 58% sedangkan Lazio 53%. Klub Italia tidak mampu memaksimalkan pemasukan dari tiket serta sektor komersial., tidak seperti klub kaya di negara lain. Ambil contoh klub paling kaya di dunia tahun 2006 versi Deloitte Football Money League yakni Real Madrid dengan bintang-bintang dunianya seperti Christiano Ronaldo, Higuain, Benzema, Ozil dll. Pemasukan El Real dari kontrak televisi hanya 32% dan tiket 23% . Namun Madrid mampu mendatangkan uang dari bintang mereka lewat sponsorship, lisensi dan merchandising. Pemasukan dari sektor komersial ini bisa mencapai 45%. Dengan kondisi keuangan yang tidak sehat, klub-klub Italia jadi harus memikirkan cara agar mereka bisa survive. Berbagai cara agar mereka tetap survive antara lain ada klub yang memberlakukan salary cap (pembatasan gaji pemain) salah satunya adalah contoh pemain Lazio yakni Gli Aquillotti yang memiliki pendapatan diatas Rp. 9,5 M semusim.
            “Ketika saya memperkenalkan salary cap tiga tahun lalu (tahun 2005), semua menertawakan saya, sekarang ide kami menjadi model.” Ujar bos Lazio Claudio Lotto di Messaggero. Bagi klub yang tidak memberlakukan salary cap, tetap ada cara lain untuk mengurangi pengeluaran gaji. Sebut saja Juventus yang tega memangkas 20% mascot Alexandro Del Pierro dalam proposal perpanjangan kontrak yang baru. Ada pula tren untuk tidak menjual hak siar ke televisi secara kolektif, yang dilakukan sejak 1999. Klub menjual hak siar secara individu, tetapi efeknya ada perbedaan signifikan antara hak siar klub besar dengan klub kecil.
            Tren lain adalah belanja pemain yang tidak lagi menghabiskan dana gila-gilaan. Peminjaman, status kepemilikan bersama (comproprietal) atau merekrut pemain yang sudah berstatus free transfer sehingga gratis merupakan pilihan ideal. Masalah gaji dan pengetatan anggaran belanja pemain ini yang membuat klub-klub Italia belakangan kalah bersaing dengan aksi klub Inggris atau Spanyol di bursa transfer.
            Yang menjadi hal vital adalah mengenai bonus, di Italia bonus paling tinggi yang diberlakukan adalah 6.5 juta euro (sekitar Rp.80 M). Angka ini malah sudah lama dilewati liga-liga di negeri top lainnya, terutama Inggris dan Spanyol.(Kutipan tabloid BOLA :2008)
Penuhnya suporter sangat diperlukan
            Disini bukan tak hendak menggugah klub sepakbola profesional kita supaya meniru cara-cara menggali dana klub seperti di atas, tetapi setidaknya model seperti itu dapat dijadikan referensi untuk menjadikan klub ISL-IPL lebih profesional dan layak jual sehingga dapat bersaing secara kuantitas maupun kualitas. Tetapi sekali lagi dalam hal ini induk organisasi seperti PSSI juga perlu dipertanyakan posisinya dalam urusan sponsorship, kalau tidak mau dikatakan seperti makelar. Karena apa? IPL sebagai kompetisi resminya PSSI (ketum Djohar Arifin) klub di IPL banyak permasalahan utamanya telat gaji pemain yang sampai berbulan-bulan mengharap kucuran dana dari konsorsium. Belum lagi permasalahan lewat PSSI (ketum La Nyala Mattaliti) yang sementara ini masih eksis lewat ISL di AN-teve. Sehingga klub yang seharusnya bisa mandiri bahkan bisa menjadi sebuah bisnis besar tidak berkutik dengan kekuasaan PSSI (dipaksa berkompetisi di IPL). Maka perlu wacana pembebasan klub untuk mencari sponsor tanpa harus melibatkan pihak PSSI (Konsorsium berjanji mencarikan sponsor). Misalkan Persija Jakarta dapat menghitung pemasukan klub seandainya dari Tiket 16% Komersial 25% Kontrak TV 59% atau Arema Malang dari tiket berani 42% Komersial 29% Kontrak TV 29% atu dengan klub SriwijayaFC Palembang mematok Tiket 24% Komersial 59% Kontrak TV 17%.
            Sponsor merupakan salah satu sumber pemasukan uang yang seharusnya banyak membantu proses operasional klub. Di klub ISL-IPL memang peran sponsor masih sepenggal-sepenggal dalam arti satu klub tidak hanya satu pesan sponsor tetapi lebih dari satu. Misal untuk produk kostum dari Nike, logo kostum bertuliskan Bank Papua.
Memang harus ada pengaturan yang jelas dalam hal sponsor. Bisa saja klub mengikat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang pemiliknya masuk orang-orang terkaya di Indonesia misal Djarum, HM Sampoerna, Grup Bakrie atau perusahaan lokal seperti Sido Muncul, Bank pemerintah bahkan perusahaan asing seperti Freeport, Honda, Yamaha dapat dijadikan partner. Dalam hal ini penulis memberi apresiasi yang tinggi terhadap perusahaan Djarum, bahwa melalui Djarumlah prestasi-prestasi olahraga anak negeri dapat terakomodasi. Tidak hanya melalui sepakbola saja tetapi Djarum sudah mendunia dengan bulutangkisnya. Menurut saya pemerintah tidak usahlah menyampaikan pesan-pesan pihak asing yang justru malah menghancurkan tidak hanya segi olahraganya tetapi masuk ke segi ekonomi seandainya pemerintah ikut-ikutan melarang produk rokok. Memang kalau ada sponsor selain Djarum boleh-boleh saja dijadikan partner, seperti dulu ada Liga Djos Indonesia kemudian ini mengikat Ti Phone.
            Betapa manisnya jika nantinya setiap klub diberi otoritas sendiri tanpa dicampuri tangan-tangan PSSI, dan untuk saat ini memang setiap klub harus mulai dikelola secara proporsional dan profesional sejati sehingga diharapkan ada sedikit klub tapi berlabel profesional. Karena untuk menuju ke profesional ada syarat-syarat yang harus dipenuhi klub. Maka apabila itu dikaji dan dinilai dari berbagai aspek, maka dapat menjadi peluang bisnis seperti halnya klub-klub besar di negara sepakbola, alasannya :
1)      Dengan majunya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat terhadap kualitas sebuah klub sepakbola dan pemain berkualitasnya, maka penonton akan datang ke venue meski ada siaran live dari AN-Teve sekalipun.
2)      Pihak sponsor merasa untung dengan pajangan produknya yang dihadiri ribuan penonton di stadion dan jutaan pemirsa di televisi.
3)      Dengan berkembangnya bisnis sepakbola maka sepakbola dapat menjadi komoditas unggulan ekonomi baik di tingkat nasional maupun daerah.
4)      Dengan ditargetkannya pariwisata sebagai komoditas unggulan abad 21, maka industri  sepakbola dapat berpeluang maju seiring dengan kemajuan industri pariwisata.

Tetapi apabila dikaji juga dari beberapa aspek peluang bisnis sepakbola dapat juga menjadi ancaman bagi keberadaan pemain-pemain muda usia, alasannya :
1)      Kurang profesionalnya cara, sistem dan pengelolaan sepakbola di Indonesia serta kurang terpadu dan selarasnya penjabaran kebijakan pemerintah, maka akan mengancam bisnis sepakbola itu sendiri.
2)      Dengan terbukanya pasar barang dan jasa, baik regional maupun global terbuka kesempatan bagi masuknya tenaga kerja asing dari negara-negara  Asean dan manca negara lainnya, sehingga mengancam keberadaan pemain nasional dan lokal untuk bersaing dengan kepiawaian dari segi teknik, taktik, fisik dan psikis dengan pemain asing.
3)      Adanya serbuan pemain-pemain asing yang harganya relatif lebih murah, lebih berkualitas, lebih bermutu dibanding dengan pemain lokal, akan mengancam keberadaan pemain lokal untuk bisa bersaing.