Blogger Widgets TAMAMI JAYA: MENGIKIS FEODALISME PENDIDIKAN
SELAMAT DATANG Di Web tamamijaya.blogspot.com Jalan DR.Wahidin 76 Dema'an Jepara

Tuesday 6 November 2012

MENGIKIS FEODALISME PENDIDIKAN



MENGIKIS FEODALISME PENDIDIKAN
Pendidikan sebagai tonggak utama pembentukan manusia yang berbudi tampaknya perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Bagaimana manusianya bisa maju kalau sistem pendidikannya berantakan ? Apakah cukup dengan memberikan dana  dua puluh persen dari APBN ?
Karena pendidikan ( sekolah ) yang berlangsung selama ini tidak lebih dari sekedar rutinitas yang jauh dari tujuan utamanya yaitu belajar dan mengajar. Bahkan, sekolah menjadi suatu ajang pencarian keuntungan bagi beberapa pihak. Lebih dari itu, akhir-akhir ini sekolah tidak lebih dari manifestasi hukum perdagangan liberal, yang mampu bayar silahkan masuk sekolah, yang tidak mampu silahkan tidur di rumah. Lalu dimana fungsi sekolah sebagai lembaga pencerdasan anak bangsa ? Sejauh mana perhatian pihak terkait terhadap nasib kecerdasan manusia Indonesia ?
Sekolah yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai ujung tombak pendidikan semakin jauh melenceng dari tujuannya. Kekurangpedulian pemerintah dan masyarakat telah menyebabkan sistem yang berjalan, baik intrasekolah maupun antarsekolah mengalami disorientasi. Sekolah yang seharusnya mencerdaskan, mengajarkan cara berpikir, justru malah mengekang kreatifitas. Sekolah yang seharusnya saling bekerja sama mencerdaskan anak bangsa justru saling memperebutkan siswa sekaligus iuran serta dana BOSnya. Atas nama prestasi dan kecerdasan, orang tua dipaksa mengeluarkan biaya yang hampir tidak masuk akal di tengah himpitan ekonomi yang makin kuat. Siswa dan orang tua mau tidak mau menuruti segala pemerasan yang dijalankan dengan dalil pendidikan tersebut. Dengan kata lain, siswa sebagai pembelajar   ( sekaligus orang tua ) telah diletakkan sebagai obyek pendidikan. Obyek yang bisa dipermainkan, diprogram seperti robot, atau malah diperas seperti sapi. Dan karena tak ada usaha-usaha untuk mereduksi bentuk penyelewengan tersebut, akhirnya sistem itu menghard core ( meminjam istilah Rheinald Kasali ), dianggap wajar. Bila di suatu iklan berbunyi, “ Kalau ingin pintar, ya belajar.”, maka di masyarakat pendidikan kita yang berlaku adalah, “ Kalau ingin pintar, ya bayar.”
Intervensi Pemerintah
Padahal sampai saat ini keterlibatan pemerintah dalam dunia pendidikan sangat kuat. Namun mengapa keadaan dunia pendidikan makin kocar-kacir ? Boleh jadi karena pemerintah ( Depdiknas ? ) kurang pas melibatkan diri. Alangkah baiknya bila pihak luar sekolah menjaga intervensinya agar tidak terlalu berlebihan serta terfokus pada masalah tekhnis pendidikan. Bahkan intervensi yang terlalu kuat dapat menimbulkan pembelengguan kepada pihak sekolah, khususnya di tingkat SD. Akibatnya pihak sekolah kehilangan kreativitasnya karena budaya minta petunjuk, juklak dan juknis, serta aneka birokrasi lain terlampau mengakar dalam diri para guru serta masyarakat sekolah ( khususnya SD ). Tidak jarang, sebuah sekolah, atau seorang guru, gagal melakukan program yang disusunnya karena bertentangan dengan berbagai peraturan di atasnya. Bahkan untuk menentukan buku apa yang hendak digunakan, mebelanjakan dana BOS, tidak jarang pihak sekolah harus menunggu ketetapan seorang kepala dinas. Alangkah ironis bila kebijakan sekolah ditentukan oleh pihak-pihak di  luar sekolah, meskipun itu adalah lembaga yang mengaturnya .
Yang lebih memalukan adalah intervensi berlebihan terhadap pengaturan keuangan sekolah. Memang kita semua sadar, keuangan sekolah adalah hal mutlak bagi berjalannya roda pendidikan yang perlu diawasi penggunaannya. Tetapi dengan keterbatasan dana, pihak sekolah pasti jauh lebih tahu tingkat prioritas kebutuhan mana yang mesti didahulukan. Dengan keterbatasan dana itu seharusnya alangkah memalukannya apabila pihak-pihak luar sekolah misalnya Penilik Sekolah dan Kepala Dinas ( yang sudah digaji pemerintah ) mau menerima amplop terima kasih dari pihak sekolah atas nama kegiatan apapun.. Dan sayangnya, hal tersebut telah menghard core, membudaya, dan justru dianggap lumrah. Apabila ada pemeriksaan rutin, maka dengan otomatis amplop uang bensin untuk sang penilik akan selalu mengiringi hasil pemeriksaan. Lalu buat apa gaji para penilik  tiap bulannya ?  Dan bagaimana pemeriksaan serta pengevaluasian dapat berjalan obyektif dan menjadi suatu perbaikan apabila uang telah berbicara ?
Yang paling rentan adalah dana-dana pembangunan, block grant, DAK ( dana Alokasi Khusus ) maupun dana rehabilitasi sekolah yang lain. Sudah rahasia umum apabila dana tersebut akan mengalami kebocoran-kebocoran maupun sunatan-sunatan dengan berbagai alasan. Sebuah dilematis dihadapi sekolah. Di satu sisi mereka membutuhkan dana untuk peningkatan kualitas sekolah, di sisi lain mereka akan kesulitan menutup kebocoran-kebocoran tersebut serta pembuatan SPJnya, kecuali bila mereka adalah manusia-manusia yang pandai untuk tidak jujur.

Independensi Sekolah
Mungkin sedikit yang mengimpikan adanya Independensi sekolah. Sebuah kemerdekaan bagi sekolah untuk mengatur jalan hidupnya sendiri. Untuk menentukan kurikulum yang dianutnya, untuk memilih mapel yang diajarkannya, atau justru untuk mengikuti program pemerintah atau tidak. Sekolah yang menjadikan siswa-siswinya sebagai yang dihormati, yang harus mendapat segala curahan perhatian, tentu saja dengan cara yang benar. Agar mereka menjadi manusia seutuhnya, manusia yang merdeka yang berani menentukan sikap. Bukan untuk dijadikan robot agar dapat diperintah, disuruh melakukan ini itu, atau dijadikan sumber daya yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Hal ini tidak lain karena mayoritas guru masih bermental feodal yang tinggal menunggu segala sesuatunya dari atas. Sedikit sekali para guru yang merdeka, yang berani bertindak kreatif.
Sebuah impian yang bukan tidak mungkin dapat diwujudkan mengingat banyak pihak telah mulai merintisnya. Lahirnya sistem homeschooling ataupun pendidikan-pendidikan luar sekolah menunjukkan bahwa masih ada yang berjuang untuk memerdekakan anak-anak bangsa dalam dunia pendidikan Indonesia. Untuk memberikan kesempatan belajar yang sebenar-benarnya, belajar untuk pintar. Bukan belajar untuk nilai diatas kertas. Tinggal kita, akankah mendukung anak –anak kita menjadi manusia merdeka atau justru takut kalau anak-anak kita tidak dapat menjadi pegawai ( negeri sipil ) karena tidak mempunyai ijazah formal.



Oleh     : Chabib Noor Za, S.Pd
: Praktisi Pendidikan,  Tinggal di Jepara
       


No comments: