Blogger Widgets TAMAMI JAYA: PROFESI GURU
SELAMAT DATANG Di Web tamamijaya.blogspot.com Jalan DR.Wahidin 76 Dema'an Jepara

Sunday 9 February 2014

PROFESI GURU



Profil guru sekarang

Menengok ke belakang sebentar, masuk sekolah jaman dulu anak-anak belum bisa membaca. Sebagai contoh di tahun yang tidak terlalu kuno yaitu tahun 80-an. Sebagian baru belajar mengenal huruf dan mengeja ketika sudah di SD. Begitu juga dengan berhitung, banyak juga yang belum bisa penjumlahan sederhana. Tapi semua itu tak jadi masalah. Guru SD pada waktu itu meski umumnya hanya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setingkat SMA) bahkan kursus kilat KPG (Kursus Pendidikan Guru) selama 3 bulan namun memiliki tingkat kesabaran yang luar biasa. Murid-murid yang nakal, cengeng, manja, ngambekan, semuanya bisa mereka asuh. Untuk mempercepat siswa berkompetisi dalam hal kemampuan membaca, hampir tiap hari ada pelajaran “dikte”. Sedangkan untuk urusan berhitung, biasanya dipakai metode “mencongak”. Yang terakhir ini biasanya dilakukan saat menjelang jam pulang sekolah, siapa yang bisa menjawab dengan tepat soal penjumlahan yang diberikan guru, boleh pulang duluan. Wow…, siapa yang gak senang boleh pulang dulu – meski sebenarnya itu memang sudah jam pulang sekolah dan cuma beda beberapa menit saja dari teman yang lain, toh tetap saja memberikan kebanggaan tersendiri kalo boleh pulang karena bisa menjawab soal – itu sebabnya semangat berkompetisi yang sehat antar siswa selalu hidup. Kompetisi yang menyenangkan dan tidak bikin stress. Sebab yang gak bisa tak bakal dihukum. Mereka tetap akan pulang juga akhirnya. Urusan perkalian, setiap hari pasti ada hafalan perkalian
Pasal-pasal dalam UUD 1945 dan butir-butir sila dalam Pancasila hafal di luar kepala pada pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila).
7 keajaiban dunia, danau, kota-kota di Indonesia pada pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) hafal di luar kepala.
Buku yang dimiliki ada 3 macam : buku tulis biasa, buku tulis halus (yang memiliki 3 garis : 2 garis dengan ketinggian kolom normal plus 1 garis dengan ketinggian kolom separuh dari yang normal), dan buku kotak-kotak. Buku tulis halus untuk melatih kami menulis dengan baik setiap abjad sesuai dengan kaidah bentuk abjad dan juga melatih kami menyambung abjad-abjad tersebut yang dikenal dengan tulisan “latin” atau huruf bersambung. Sedangkan buku kotak-kotak dipakai khusus untuk pelajaran berhitung, agar siswa menuliskan setiap angka pada satu kotak dan angka berikutnya pada kotak yang lain, sehingga memudahkan penjumlahan dan pengurangan. Guru SD memberikan penilaian untuk bentuk tulisan siswa – bagus atau jeleknya – pada pelajaran menulis halus.
Untuk buku teks, anak SD jaman saya tidak perlu pusing. Seluruh Indonesia buku teks yang dipakai sama, terbitan Balai Pustaka. Orang tua siswa tak perlu merogoh kocek untuk membeli, sebab pihak sekolah menyediakan buku paket dalam jumlah yang cukup untuk dipinjamkan kepada siswa. Kalaupun ada orang tua murid yang membeli sendiri (Tetapi jarang toko buku yang menjual terbitan Balai Pustaka), buku paket itu bisa disimpan dan diwariskan kepada adik-adik siswa di tahun-tahun berikutnya. Para guru selain memegang buku paket juga mendapat “Buku Panduan” yang memberikan mereka garis arahan materi ajar yang harus diberikan kepada siswa, pola latihan soalnya seperti apa, serta alokasi waktu untuk tiap bab/materi. Saya gak tahu pasti, apa karena sejak awal buku paket yang digunakan sama dan panduan mengajar guru juga sama se Indonesia, maka kualitas pendidikan waktu itu seolah-olah STANDAR meski tak melalui Ujian Nasional.
Kalau ada lomba SPI (Senam Pagi Indonesia) antar SD, rata-rata seragam yang dipakai peserta lomba adalah kaos putih tipis lengan pendek tanpa kerah (Yang saya ingat merk Jupiter)
Guru yang mengajarpun jarang, kebanyakan guru yang kami kenal tidak ada yang berasal dari wilayah sekitar, rata-rata berasal dari kota daerah selatan (Bantul, Sleman, Gunung kidul, Klaten dan Jogjakarta)
Guru pada jaman itu merupakan suatu profesi yang sangat terhormat, karena dianggap memiliki pengetahuan lebih daripada masyarakat setempat. Masyarakat juga menuntut para guru mengajarkan nilai moral kepada anak-anak mereka, di samping pengetahuan baca tulis dan berhitung. Guru juga punya hak otoriter sebagai pengganti orang tua bila anak berada di sekolah. Cara mendidik mereka lebih banyak menggunakan pendekatan pribadi yang membuat interaksi guru murid lebih erat. Hal ini terbawa sampai di luar jam sekolah karena kondisi social masyarakat jaman dulu yang lebih bersifat kekeluargaan.
Tetapi untuk ekonomi sehari-hari, guru bukanlah pilihan yang tepat bagi pekerjaan yang diinginkan orang tua siswa.
Industri perkayuan mata pencarian rata-rata orang tua siswa, tidak ada yang tertarik untuk menjadi seorang guru. Karena begitu sudah belajar sambil bekerja di industry meubel mencari uang tidak terlalu sulit di kawasan meubel.
“Jangan nikah sama guru, kamu nanti susah, mau dikasih makan apa nanti…”, “jangan jadi guru, gajinya kecil, cari aja pekerjaan yang lain yang lebih enak….”. Begitulah kira-kira mendengar cerita beberapa guru-guru yang sudah lama mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Statement seperti itu sering muncul di jaman dahulu dimana profesi guru masih dipandang sebelah mata. Determinasinya simple, karena penghasilannya kecil. Begitulah alasan orang tua dulu kalau berpesan kepada anak gadisnya yang mau menikah agar tidak dengan lelaki yang berprofesi sebagai guru, atau kepada puteranya yang ingin mencari pekerjaan untuk tidak bekerja sebagai guru.
Tetapi sekarang berbanding terbalik dengan pemikiran orang tua jaman sekarang. Berlomba-lomba orang tua menyarankan anaknya agar mau masuk perguruan tinggi yang membuka program keguruan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) menjadi program studi favorit. Gaji guru lumayan tinggi apalagi ditambah tunjangan sertifikasi.
Padahal menjadi guru itu profesi yang unik, karena tidak hanya masalah profesi yang sekarang digembar-gemborkan Guru Profesional. Ada hal yang lebih penting yaitu niat dari lubuk hati untuk menjadi guru, mencerdaskan anak bangsa, bukan melulu perihal honor yang sering diomongkan para guru-guru honor (Wiyata Bakti)
Setelah sertifikasi
Buang rasa iri pada guru senior (Guru yang sudah lama dan penerima tunjangan sertifikasi), rasa iri yang tidak hanya menghinggapi pikiran guru-guru junior (Ingin cepat diangkat PNS dan ingin segera mendapat tunjangan sertifikasi) rasa iri yang menghinggapi semua orang, bahkan pemangku jabatan yang mengatur nasib guru.
Sertifikasi merupakan jawaban pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru. Gaji pokok guru akan dilipatgandakan jika mencukupi kualifikasi tertentu sebagai penerima tunjangan sertifikasi. Sebuah iming-iming yang cukup menggiurkan bagi mereka yang berprofesi guru dengan gaji pas-pasan. Hanya saja, sepertinya iming-iming itu diberikan dengan setengah hati. Untuk menuntut hak sertifikasi, banyak sekali syarat yang harus dipenuhi. Mulai dari tercukupinya porsi jam mengajar sesuai ketetapan yang berlaku hingga lama masa kerja. Banyak guru yang pada akhirnya harus mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan bidangnya untuk memenuhi porsi jam mengajar yang telah ditentukan. Banyak pula yang berkorban moril dan materiil untuk mengikuti kuliah penyetaraan demi mendapatkan gelar sarjana yang juga termasuk persyaratan lulus sertifikasi.
Jadi mengapa ingin menjadi Guru ?
 

No comments: