Blogger Widgets TAMAMI JAYA: SEPAK BOLA SEBAGAI SPORT BISNIS
SELAMAT DATANG Di Web tamamijaya.blogspot.com Jalan DR.Wahidin 76 Dema'an Jepara

Monday 19 January 2015

SEPAK BOLA SEBAGAI SPORT BISNIS



Dari tahun ke tahun, gebyar persepakbolaan di saentero dunia dan khususnya di Indonesia menunjukkan peningkatan kuantitas dilihat dari maraknya tumbuh klub-klub di daerah meskipun secara kualitas masih jauh dari harapan limit sebuah klub sepakbola. Dikatakan profesional tetapi manajemennya amburadul, dikatakan klub amatir tetapi berani tampil di liga professional dengan mencari celah kelemahan organisasi PSSI yang memang lemah. Memang untuk mengharap hadirnya sebuah klub sepakbola disamping program pembinaan atlit muda tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya toh sebuah klub sepakbola harus bermuara pada keuntungan, tidak kesenangan saja.
Berpijak dari fakta tersebut, upaya untuk tetap eksis pada kompetisi yang sangat padat dan melelahkan harus ada paradigma yang tidak sekedar berorientasi pada pencapaian prestasi klub saja tetapi harus ada pemikiran kearah yang lebih spesifik yakni keuntungan klub itu sendiri.
Ini fakta yang mengejutkan sekaligus menakutkan, bahwa semua klub di tanah air kalau betul-betul diverifikasi secara profesional tidak bakalan lolos dari segala aspek, utamanya financial. Baik itu di Indonesia Super Liege (ISL) maupun kasta di bawahnya, Divisi Utama maupun Divisi 1 di akhir kompetisi banyak menanggung hutang. Jadi dalam hal ini rata-rata klub sepakbola di Indonesia lebih memikirkan kewajiban menyelesaikan kompetisi daripada memikirkan keuntungan yang harus diraih klub profesional yaitu industri sepakbola.
Benar kata pepatah jawa, Jer basuki mawa beya artinya Setiap klub di ISL yang ingin mengambil pemain-pemain yang bagus harus mempunyai dana yang besar. Tanpa dana yang cukup,  mustahil sebuah klub memboyong pemain mahal untuk bergabung. Dan itu masih diperparah dengan kinerja pengurus klub sepakbola yang model penggalian dananya masih banyak yang berharap pada Pemkab/Pemkot untuk mencarikan solusi dana, dengan dalih semua demi pembinaan putra daerah yang bermain di klub itu. Kalau model penggalian dana seperti itu terus tidak mungkin prestasi pesepakbola di tanah air terutama pemain berusia muda dapat berkompetisi dengan baik karena sebagian besar klub sepakbola di Indonesia saat ini lebih asyik memakai jasa pemain asing tanpa melihat kualitas pemain itu.
            Untuk membahas permasalahan di atas kiranya perlu kita, pelaku-pelaku olahraga khususnya para pengelola dan pengurus klub sepakbola untuk lebih dapat bercermin pada kompetisi di tingkat internasional, baik itu Serie A di Italia, Premier League di Inggris, La Liga di Spanyol ataupun di Bundes Liganya Jerman. Bukan dalam arti meniru atau membuat teknik manajemen seperti di klub-klub itu tetapi dapat terinspirasi dengan model penggalian dananya.
            Sedikit membahas tentang model pendapatan dan penghasilan klub di Serie A, secara standar, pemasukan klub bisa berasal dari penjualan tiket (Termasuk tiket terusan), kontrak televise, merchandising, penjualan pemain, uang hadiah, investasi, sponsorship serta bunga bank. Porsi pemasukan ini semestinya berimbang.
            Di Italia kasusnya tidak demikian. Pemasukan uang klub-klub Serie A sangat bergantung pada kontrak dengan televisi. Angkanya sampai lebih dari 50% total pendapatan klub. Lima klub terdepan Italia bisa dianggap mewakili.
            Pemasukan uang klub AC Milan, dari kontrak televisi mencapai 59% Juventus 54% Inter Milan 58% AS Roma 58% sedangkan Lazio 53%. Klub Italia tidak mampu memaksimalkan pemasukan dari tiket serta sektor komersial., tidak seperti klub kaya di negara lain. Ambil contoh klub paling kaya di dunia tahun 2006 versi Deloitte Football Money League yakni Real Madrid dengan bintang-bintang dunianya seperti Christiano Ronaldo, Higuain, Benzema, Ozil dll. Pemasukan El Real dari kontrak televisi hanya 32% dan tiket 23% . Namun Madrid mampu mendatangkan uang dari bintang mereka lewat sponsorship, lisensi dan merchandising. Pemasukan dari sektor komersial ini bisa mencapai 45%. Dengan kondisi keuangan yang tidak sehat, klub-klub Italia jadi harus memikirkan cara agar mereka bisa survive. Berbagai cara agar mereka tetap survive antara lain ada klub yang memberlakukan salary cap (pembatasan gaji pemain) salah satunya adalah contoh pemain Lazio yakni Gli Aquillotti yang memiliki pendapatan diatas Rp. 9,5 M semusim.
            “Ketika saya memperkenalkan salary cap tiga tahun lalu (tahun 2005), semua menertawakan saya, sekarang ide kami menjadi model.” Ujar bos Lazio Claudio Lotto di Messaggero. Bagi klub yang tidak memberlakukan salary cap, tetap ada cara lain untuk mengurangi pengeluaran gaji. Sebut saja Juventus yang tega memangkas 20% mascot Alexandro Del Pierro dalam proposal perpanjangan kontrak yang baru. Ada pula tren untuk tidak menjual hak siar ke televisi secara kolektif, yang dilakukan sejak 1999. Klub menjual hak siar secara individu, tetapi efeknya ada perbedaan signifikan antara hak siar klub besar dengan klub kecil.
            Tren lain adalah belanja pemain yang tidak lagi menghabiskan dana gila-gilaan. Peminjaman, status kepemilikan bersama (comproprietal) atau merekrut pemain yang sudah berstatus free transfer sehingga gratis merupakan pilihan ideal. Masalah gaji dan pengetatan anggaran belanja pemain ini yang membuat klub-klub Italia belakangan kalah bersaing dengan aksi klub Inggris atau Spanyol di bursa transfer.
            Yang menjadi hal vital adalah mengenai bonus, di Italia bonus paling tinggi yang diberlakukan adalah 6.5 juta euro (sekitar Rp.80 M). Angka ini malah sudah lama dilewati liga-liga di negeri top lainnya, terutama Inggris dan Spanyol.
            Disini bukan tak hendak menggugah klub ISL supaya meniru cara-cara menggali dana klub seperti di atas, tetapi setidaknya model seperti itu dapat dijadikan referensi untuk menjadikan klub ISL lebih profesional dan layak jual sehingga dapat bersaing secara kuantitas maupun kualitas. Tetapi sekali lagi dalam hal ini induk organisasi seperti PSSI juga perlu dipertanyakan posisinya dalam urusan sponsorship.
            Pada akhirnya memang harus ada wacana pembebasan klub untuk mencari sponsor tanpa harus melibatkan pihak BLI. Misalkan Persija Jakarta dapat menghitung pemasukan klub seandainya dari Tiket 16% Komersial 25% Kontrak TV 59% atau Arema Malang dari tiket berani 42% Komersial 29% Kontrak TV 29% atu dengan klub SriwijayaFC Palembang mematok Tiket 24% Komersial 59% Kontrak TV 17%.
            Sponsor merupakan salah satu sumber pemasukan uang yang seharusnya banyak membantu proses operasional klub. Di klub ISL memang peran sponsor masih sepenggal-sepenggal dalam arti satu klub tidak hanya satu pesan sponsor tetapi lebih dari satu. Misal untuk produk kostum dari Nike, logo kostum bertuliskan Bank Papua.
Memang harus ada pengaturan yang jelas dalam hal sponsor. Bisa saja klub mengikat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang pemiliknya masuk orang-orang terkaya di Indonesia misal Djarum, HM Sampoerna, Grup Bakrie atau perusahaan lokal seperti Sido Muncul, Bank pemerintah bahkan perusahaan asing seperti Freeport, Honda, Yamaha dapat dijadikan partner. Dalam hal ini penulis memberi apresiasi yang tinggi terhadap perusahaan rokok Djarum, bahwa melalui Djarumlah prestasi-prestasi olahraga anak negeri dapat terakomodasi. Tidak hanya melalui sepakbola saja tetapi Djarum sudah mendunia dengan bulutangkisnya. Menurut saya pemerintah tidak usahlah menyampaikan pesan-pesan pihak asing yang justru malah menghancurkan tidak hanya segi olahraganya tetapi masuk ke segi ekonomi seandainya pemerintah ikut-ikutan melarang produk rokok. Memang kalau ada sponsor selain Djarum boleh-boleh saja dijadikan partner, seperti dulu ada Liga Djos Indonesia kemudian ini mengikat Ti Phone.
            Betapa manisnya jika nantinya setiap klub diberi otoritas sendiri tanpa dicampuri tangan-tangan PSSI, dan untuk saat ini memang setiap klub harus mulai dikelola secara proporsional dan profesional sejati sehingga diharapkan ada sedikit klub tapi berlabel profesional. Karena untuk menuju ke profesional ada syarat-syarat yang harus dipenuhi klub. Maka apabila itu dikaji dan dinilai dari berbagai aspek, maka dapat menjadi peluang bisnis seperti halnya klub-klub besar di negara sepakbola, alasannya :
1)      Dengan majunya tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat terhadap kualitas sebuah klub sepakbola dan pemain berkualitasnya, maka penonton akan datang ke venue meski ada siaran live dari TV pemegang hak siar sekalipun.
2)      Dengan berkembangnya bisnis sepakbola maka sepakbola dapat menjadi komoditas unggulan ekonomi baik di tingkat nasional maupun daerah.
3)      Dengan ditargetkannya pariwisata sebagai komoditas unggulan abad 21, maka industri  sepakbola dapat berpeluang maju seiring dengan kemajuan industri pariwisata.

Tetapi apabila dikaji juga dari beberapa aspek peluang bisnis sepakbola dapat juga menjadi ancaman bagi keberadaan pemain-pemain muda usia, alasannya :
1)      Kurang profesionalnya cara, sistem dan pengelolaan sepakbola di Indonesia serta kurang terpadu dan selarasnya penjabaran kebijakan pemerintah, maka akan mengancam bisnis sepakbola itu sendiri.
2)      Dengan terbukanya pasar barang dan jasa, baik regional maupun global terbuka kesempatan bagi masuknya tenaga kerja asing dari negara-negara  Asean dan manca negara lainnya, sehingga mengancam keberadaan pemain nasional dan lokal untuk bersaing dengan kepiawaian dari segi teknik, taktik, fisik dan psikis dengan pemain asing.
3)      Adanya serbuan pemain-pemain asing yang harganya relatif lebih murah, lebih berkualitas, lebih bermutu disbanding dengan pemain lokal, akan mengancam keberadaan pemain lokal untuk bisa bersaing.

            Melalui momen kebangkitan Timnas U-23 di Sea Games Myanmar 2013 dan piala dunia 2014 di Brazil serta momentum kebangkitan Timnas U-19 yang akan tampil di piala asia U-19 akan menjadi penutup kebangkitan prestasi Timnas Sepakbola di akhir tahun 2013 ini. Dan merupakan satu langkah maju yang perlu diacungi jempol, karena sadar diri akan apa yang selama ini terkait dengan persepakbolaan saat ini belum menjadi sebuah industri sepakbola, padahal sebuah industri akan menghasilkan barang dan jasa. Setidak-tidaknya apa yang telah dilakukan PSSI dengan kompetisi ISLnya sudah lebih baik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya meskipun prestasi yang dihasilkan belum optimal, tetapi mungkin melalui paparan di atas para pengelola klub sepakbola dapat lebih arif dan bijak dalam mengelola suatu klub sepakbola sehingga tidak hanya sebagai kegiatan rutin saja dengan menghabiskan dana milyaran rupiah tetapi dapat belajar menghasilkan dana milyaran rupiah.
            Melalui sumbang pikir dari saya ini, meskipun mungkin tidak ada manfaatnya, namun saya sebagai pemerhati olahraga khususnya sepakbola merasa bersyukur karena mendapat kesempatan untuk menyampaikan ungkapan pribadi saya yang mungkin dapat bermanfaat bagi pembaca dan lebih khusus para pengelola klub sepakbola, sehingga apa yang menjadi beban pendanaan klub sepakbola dapat lebih ditemukan jawabannya.
            Terimakasih atas kesempatannya.


Referensi :
Tabloid BOLA 2007
SARASEHAN OLAHRAGA di Jepara 2009
  

No comments: